Edisi Hari Santri Nasional: Menyelamatkan Bayi Republik

Resolusi Jihad

Bismillah wa billah wa ala millati Rasulillah Shallallahu alaihi wa alihi wa salam.

“They cannot represent themselves, They must be represented”Karl Marx

Awalnya adalah jejak langkah. Izinkan saya nyruput kopi sambil sharing sebuah cerita, kisah sejarah keren, aduhai dan mantap. Perihal kisah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, tentang Indonesia, tentunya tentang kamu dan cinta Tanah Air. Anak negeri memperingati Hari Santri Nasional era kekinian, 22 Oktober 2020. Pernahkah Anda mendengar kisah Resolusi Jihad 1945 yang dimaklumatkan Hadratussyaikh? Pastinya pernah denger dong! Pendiri NU dan tokoh bangsa yang menyelamatkan bayi republik.

Saya mau cerita juga waktu sowan ke kantor PBNU, saat masuk ruangan pribadi Gus Dur. Melihat sebuah lukisan yang luar biasa dan begitu inspiring. Tertulis dalam lukisan, pahatan tulisan: Jejak-jejak Mu merahimi kebangkitan. Ya, tentang merahimi kebangkitan. Dirimu, diri kita memang harus bangkit dari kebodohan menuju kearifan, hijrah dari keterpurukan menuju kreativitas, dari pesimisme ke optimisme. Indonesia yang gini-gini aja menjadi maju dan ngeri, tentunya dengan Pancasila sebagai bintang penuntun.

Rakyat kita saat ini berjumlah lebih dari 260 juta, bukan hanya kuantitas dan jumlah, tapi kualitas, pikiran dan inovasi. Seperti pernah disampaikan aktor Bollywood Amitabh Bachan dalam orasi film berjudul The Pad Man yang juga dibintangi Akhsay Kumar. Jumlah 1,5 milyar penduduk India adalah juga 1,5 milyar pikiran dan inovasi, begitu kata om Bachan. Luar biasa!

Sekarang dengan haru-biru, kita mengenang Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diserukan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau meminta rakyat dan santri untuk mempertahankan bayi republik ini menjadi contohnya yang paling membahana, kata putri Gus Dur, Alissa Wahid. Akibatnya, 200 ribu rakyat dan santri gugur dalam jihad di medan laga Surabaya, 10 November 1945. Tetapi republik ini terselamatkan dari penjajah baru NICA yang kembali menancapkan kaki d bumi Nusantara.

Senandung Penjarahan

Kisah kita berawal ketika gerombolan manusia berekor dari dunia lain menjajah manusia lainnya. Mereka ingin menguasai, memenuhi, menjarah kembali dan menghancurkan penggalan surga di bumi. Sebelum itu terjadi, para kiai dan santri bangkit bersaksi, berkorban untuk sebuah kemerdekaan negeri, demi rakyat dan ilahi.

Dalam bahasa Bung Karno, mereka para penjajah tidak punya rezeki di negaranya, akhirnya memetakan negara bahkan dunia, untuk dirampok dan dijarah. Perjanjian Tordesillas adalah bukti nyatanya, membagi dunia hanya milik Spanyol dan Portugis. Indonesia, Asia, Afrika, Timur-Tengah adalah targetnya kini. Bener-bener parah mereka!

Begitulah yang terjadi pada sejarah bangsa kita. Kisah fatwa Resolusi Jihad 45 yang digerakkan oleh pendiri NU yaitu Hadrattussyaikh adalah untuk membela, mempertahankan bayi republik. Sebuah perlawanan suci melawan para penjarah bangsa. Ya, tentang Resolusi Jihad 45! Bagaimanakah kita membayangkan rakyat Indonesia di Surabaya, 75 tahun yang lalu, saat mereka menghadapi maut, dengan ketulusan tanpa pamrih, membela tanah airnya dengan berbekal hubbul wathan minal iman. Sebuah negeri akan dimakmurkan dengan kecintaannya pada Tanah Air, umiratil buldan bihubbil awthan, begitulah dawuh suami tercinta Sayyidah Fatimah Az Zahra, puteri tersayang Rasulullah SAW.

Ketika Mayor Jenderal R.C Mansergh, Panglima Tentara Darat Sekutu mengancam, mengultimatum bangsa Indonesia serta pemimpinnya untuk menyerah bersama seluruh persenjataannya. Terjadilah pertempuran dahsyat, tawuran massal di kota arek-arek Suroboyo. Santri dan rakyat melakukan perlawanan sebagai reaksi atas ancaman gerombolan Inggris yang menghina bangsa dan kemerdekaan Indonesia.

Tak kurang 200 ribu lebih ‘gladiator-gladiator bangsa’  meninggal dan syahid. Merdeka atau Mati, begitulah semboyannya. Sebuah pengorbanan tanpa pamrih, membela martabat, harga diri, dan menyelamatkan bayi republik. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok pesantren  menjadi markas-markas Hizbullah-Sabilillah. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian tentang caranya menggunakan karaben, mortir dan cara bertempur dalam medan-medan pertempuran”, kenang Kiai Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-Orang Pesantren.

Lihat saja, betapa pasukan gabungan Inggris yang baru saja memenangkan Perang Dunia II mengalahkan geng militer Roberto (Roma, Berlin, Tokyo, dan Nazi pimpinan Adolf Hitler). Dengan keahlian dan pengalaman perang, bertempur, penuh dengan kelengkapan senjata, mereka kewalahan menghadapi perlawanan santri dan rakyat. Kota Surabaya, bagi pasukan NICA adalah neraka tergelap dalam hidupnya. Sekali dan selamanya, kami takkan pernah lagi menginjakkan kaki di bumi Sunan Ampel, demikianlah isi laporan dari dinas intelijennya. Mereka membawa kisah pilu saat balik ke negaranya dengan seribu bara api, trauma di jiwanya.  

Sejak saat itu hingga kini, santri setia bersumpah memperingati kepahlawanan, patriotisme dan berusaha mengambil hikmah dan teladan dari sebuah pengorbanan. Tindakan besar dan pikiran selevel raksasa dalam hidup mereka, mempertahankan bayi kemerdekaan, membuat Indonesia tetap ada untuk anak cucu, semua anak bangsa.

Semua Tentang Cinta

Memikirkan itu semua, adalah sebuah bahagia. Perubahan besar apakah yang dilakukan santri? Mereka adalah didikan mulia Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan lainnya. Gerangan percikan cahaya langit apakah yang mengubah santri yang katanya “moderat dan kompromistis” menjadi gerakan revolusioner dan radikal, menjebol tembok besar imperialisme. Sebagaimana kata sejarawan Thomas Carlyle, ”And I said the great man always act like a thunder. He stormed the sky, while other are waiting to be stormed.” 

Tekad membela agama dan Tanah Air Indonesia yang dipicu oleh Resolusi Jihad 1945, kemudian diperkuat lagi dengan Pidato Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pada Pembukaan Muktamar NU ke-16 dan yang pertama setelah perang, pada 26-29 Maret 1946 di Purwokerto,”… Sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun”.

Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan Bung Karno dengan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Resolusi itu menunjukkan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka dalam sejarah, kata Martin Van Bruinessen. Maka, berkobarlah Pidato Bung Tomo di bumi Surabaya, “….dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”. Allahu AkbarAllahu Akbar, Allahu Akbar.

Santri dan rakyat bersatu takkan bisa dikalahkan. Gerak melawan penjajah NICA adalah fardu ‘ain. Setiap nyawa 200.000 yang wafat, air mata yang tertumpah hanyalah untuk Indonesia, tanah tumpah darah. Sebuah kisah negeri yang teraniaya, terjarah dan terjajah dari masa ke masa. Doa, dan cinta Hadratussyaikh terhadap bangsanya takkan pernah luntur dan surut seujung rambut pun. Resolusi Jihad NU adalah jawabannya.

What I’ve Done?

Sedih juga, sekian lamanya perjuangan kiai dan santri tidak masuk buku pelajaran sejarah. Bahkan ngga ada dalam cerita level anak-anak TK/SD, pun tidak ada di materi kuliah, tragis memang. Propaganda hitam dan kesunyian perjuangan santri harus dikubur bersama waktu hingga berakhirnya dunia. Monumental history, perjuangan kiai-santri harus dihilangkan dalam peta bumi republik, layaknya usaha untuk membunuh nyamuk menghabiskan energi kalau perlu dengan belati.

Sungguh benar ucapan filsuf Socrates dalam buku berjudul Republic, sungguh mendebarkan, bagaimana caranya membangun mentalitas para pengawal negara,” ….tugas kita yang utama adalah mengawasi fabel dan legenda serta menolak semua yang tidak memuaskan”. Demi mencetak karakter anak-anak dan putra bangsa,” harus kita perintahkan seluruh ibu dan inang pengasuh agar menceritakan dongeng-dongeng yang telah kita setujui saja…”.

Sekecil apapun peristiwa hidup apalagi sejarah perjuangan kiai dan santri itu wajib ditulis dan dikisahkan kepada anak cucu. Siapa yang dapat menulis kisahnya sendiri, ia tidak akan lekang dan sirna di makan zaman dan cuaca. Kisahnya terus abadi menjadi warisan berharga dan bintang penuntun bagi generasi berikutnya yang mewarnai kehidupan bangsa, anak-cucu, murid dan kader-kadernya. Maka, benar juga apa yang disampaikan filsuf Soren Kierkegaard, ”Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Ketika sang martir gugur ke bumi, kisahnya baru dimulai”. Inilah kisah Resolusi Jihad 45 yang baru saja diakui dan dimulai.

Kenang-kenanglah, Kiai dan santri pernah dijadikan target operasi sadis Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Kiai dan santri yang turut mendirikan Indonesia, disingkirkan atas nama ideologi pembangunan. History doesn’t repeat itself, but it sure does rhyme, sejarah tak mengulangi dirinya, tapi sungguh ia punya pola yang sama. Karena sesungguhnya, seperti sejarah, justru saat kekuatan lahiriah melemah, tumbuh kekuatan akbar dari kuasa bathiniah kiai-santri yang sekian lama ditindas oleh struktur jahat kekuasaan. Kini setiap tanggal 22 Oktober, semua anak negeri bersuka cita, hari santri diperingati di segala penjuru negeri. Kaum santri bangkit bersaksi di desa-desa dan kota-kota. Jejak-jejak pengorbanan kiai-santri dalam sejarah, dalam keabadian, dalam kisah Indonesia, selamanya.

Perjuangan Hadratussyaikh dan santri kini diakui negara, mengakui identitas dan perjuangannya. Tak aneh jika Presiden Joko Widodo mengeluarkan Kepres No. 22 Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri nasional. Kepres ini menjadi pengakuan sejarah atas komitmen kebangsaan para santri mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan dan mewujudkan cita-cita Kemerdekaan Indonesia.

Tahukan anda cita-cita bangsa? Tentunya tahu betul!. Ngga banyak, hanya 4 (empat) yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian dan keadilan sosial. Apa bisa diwujudkan cita-cita tersebut? Hanya antum-antum yang bisa menjawabnya.

Saya pernah baca buku judulnya MOSSAD yang ditulis oleh Dennis Eisenberg, dikatakan bahwa bangsa Yahudi Israel berpegang dalam ayat-ayat pergerakan,” akan tiba waktunya bagi suatu negara kecil yang berdaulat, yang lapisan pertahanannya adalah pengetahuan”. Kalimat yang dibuat oleh Charles Proteus Steinmetz, ilmuwan Yahudi kelahiran Jerman, sungguh mengilhami seluruh rakyat Israel hingga detik ini bisa jadi negara kuat dan digdaya. Bisa jadi dia adalah nabi karena nubuatnya itu, dengan ketepatan dan mengejutkan dunia Islam dan Barat. Adalah nyonya Golda Mayer, mantan Perdana Menteri Israel pertama dalam memoarnya Malice, bercerita fase kehidupannya. Perempuan itu harus bekerja keras, bergerak selama 16 jam sehari. Demi cita-citanya, perjuangannya, prinsipnya ia lalui demi mewujudkan negara Yahudi, Israel Raya. Sukses bener, menjadi negara hebat di muka bumi, bersama Ben Gurion.

Begitu juga dengan Menteri Pertahanannya yang legendaris, bermata satu, Moses Dayan namanya. Di bukunya berjudul The Sword and Rule, ia berkisah harus terbang dari daerah satu ke daerah lain, kota, negara satu ke negara lain, pagi siang dan malam. Secara sembunyi-sembunyi, bawah tanah maupun terang-terangan bergerak demi cita-citanya. Sama, ingin membentuk dan memperkuat Israel, setia dengan pergerakannya.

Sayang sekali memang, orang seperti mereka, justru lebih bisa tunjukan keuletan dan tekadnya seperti ini. Sebaliknya kita semua, justru jadi pemalas, tidar-tidur. Kita semua terlena, lalai, kaum milenial dan sebagai kaum Muslim yang sama sekali tidak pernah berbuat apapun, meski satu jam saja. Kita semua larut dalam main-main, makan, minum, tidur dan menghabiskan waktunya dengan sia-sia, percuma. “Waktu adalah pedang,” demikian Sayyidina Ali, menantu Sang Nabi bertutur kepada kita.

Kita bangsa Indonesia telah kalah dengan tekad dan cita-cita orang Yahudi kulit putih Eropa. Belum lagi kita kalah dengan bangsa Cina, India, Barat, Rusia, Latin, Turki, Korsel, Iran dan bangsa lainnya dari langkah progresivitas sejarah, terutama bidang medis, sains, teknologi dan ekonomi. Bahkan dibilang oleh sebagaian orang sebagai bangsa gagal (the failed state). Itulah tantangan terbesar dan terberat masa kini.

What I’ve done, sebagai bangsa Indonesia? Sebagai Muslim Indonesia? Sebagai milenial nasionalis, dan sebagai santri didikan ulama-Kyai?

Siapakah Sebenarnya Santri?

Ulama pinisepuh KH. A. Mustofa Bisri (2016) pernah menyampaikan, bahwa santri adalah siapa pun yang berakhlak, tawadhu’ kepada Allah SWT, sesama manusia, serta melihat Tanah Air sebagai rumahnya. Gus Mus sapaan akrab KH. A. Mustofa Bisri mengartikan siapapun yang berakhlak, rendah hati, mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang santun adalah santri. Menghormati yang tua dan mengayomi yang muda. Pun santri adalah ia yang dalam jiwanya paling dalam tertanam semangat nasionalisme. Mencintai Tanah Air yang menjadi tempat ia lahir dan disemayamkan kelak.

Jelas, dan terang benderang perjuangan santri dalam berbangsa-bernegara, tidak dapat diragukan lagi. Santri tidak hanya sibuk mengaji ilmu agama, ilmu akhirat, tetapi juga terlibat dalam perjuangan fisik, mengusir penjajah, menghalau penjarah bangsa dan merumuskan dasar negara, Pancasila. Santri pun konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen, jadi working ideology.

Santri mesti menjadi tauladan dalam berlaku damai dalam meniti kebaikan. Berlaku adil, menjaga persatuan, ukhuwah wathaniyyah, ukhuwwah Islamiyyah, dan ukhuwwah insaniyyah. Mampu bersaing dalam berbagai disiplin ilmu modern. Santri harus memperkenalkan kepada dunia, bahwa Pancasila tidak hanya diberlakukan sebagai haluan berbangsa-bernegara, tetapi juga cahaya peradaban Indonesia untuk dunia. Santri jadi pemersatu seluruh anak semua bangsa dari operasi siluman devide it impera. 

Kini ada 270.000 ribu basis pesantren, yang harus dikuatkan kembali di era kekinian. Karena pesantren adalah pembentuk negara modern bernama nation state of Indonesia. Santri era kekinian harus bertempur kembali menghadapi tantangan dan ancaman baru seperti serbuan penegak khilafah dari ideologi transnasional, semburan hoax, provokasi, terorisme, radikalisme, ranjau takfiri dan jaringan fitnah di jagat digital. Belum lagi menghadapi tantangan ekonomi ummat. Bagaimana santri membangun kemandirian dan berdikari menegakkan kepala dan bangsa di dalam pergaulan dunia. Berat juga ya jadi santri!

Tantangan Baru

Sahabat fillah, Francis Lim dalam Filsafat Teknologi (2008) yang  saya pahami, bahwa ada kecenderungan anarkis manusia saat ini, tidak sadar, abai, tega banget, katakanlah sadis alias kejam tentang hubungannya dengan manusia yang lain, alam, bahkan dengan Pencipta Alam.  Manusia sudah dikendalikan teknologi, bukannya mempermudah hidupnya, mengendalikan teknologi. Teknologi digunakan untuk menaklukkan isi dan makhluk semesta, perang dan propaganda demi kehendak kuasa, bukan menebar cinta kasih Tuhan dan memperkuat Indonesia. Lapar akan kenikmatan dan silau dengan pernak-pernik cahaya teknologi yang memukau iman serta imun.

Saat ini adalah era revolusi digital, era medsos, abad yang beda dengan abad 19, abad 20, sebuah abad yang dibanjiri informasi, tapi minus empati dan kasih sayang kepada sesama, sebuah abad kemarahan. Di era pandemi Covid-19 yang melanda bangsa, kita buktikan cinta dan empati kita. Melepaskan orang dari beban kehidupan yang menghimpitnya dan membebaskan orang dari belenggu-belenggu yang memasung kebebasannya. Dzikir, pikir dan amal shaleh, itulah warisan terbesarnya para Nabi, para revolusioner sebagaimana Hadratussyaikh, Bung Karno dan para santri.

Cinta tanah air adalah sebuah keimanan, akidah dan jihad. Marilah kita resapi syair Kiai Wahab Hasbullah agar tetap macho, keren dan maksimal berbuat untuk negara-bangsa, Wahai bangsaku, wahai bangsaku, cinta tanah air bagian dari iman. Jangan kalian jadi orang terjajah. Wahai bangsaku yang berfikir jernih, dan halus perasaaan. Kobarkan semangat, jangan jadi pembosan.

Sebuah pesan untuk generasi milenial dan umat Islam Indonesia terkini, untuk selalu mencintai negeri. Kita serap dan ngambil berkah para kiai dan santri pernah berjuang mati-matian demi sebuah negeri yang bisa kita nikmati hari ini dan nanti. Sebaiknya marilah kita semua belajar hidup dari Hadratussyaih KH. Hasyim Asy’ari, jalan hidupnya hanya untuk to pave the road to Allah. Meraih kemuliaan dan kejayaan sebagaimana orang-orang mulia dalam panggung sejarah. Hadratussyaikh Sang Kiai yang harum nama besarnya, menjulang tinggi di angkasa raya.

Sudah 75 Tahun bangsa kita merdeka, negara gini-gini aja, bahkan kedodoran hadapi tantangan. Lihatlah Korsel maju, Barat, China, Jepang, India, Turki meraih kemajuan. Kita harus maju dalam sejarah masa kini dan masa depan? Tentunya dengan kontemplasi dan perjuangan menghadapi tantangan abad 21, sebagaimana kata sejarawan yahudi Yuval Noah Harari. Seluruh anak bangsa harus bersatu padu, memajukan Indonesia, untukmu.

Point pentingnya, tugas sejarah kita masa kini adalah seperti yang dilukiskan dalam metafora pakar sejarah bernama Arnold Toynbee, ”harus memberikan jawaban yang tetap pada tantangan yang sudah berubah”.

Akhirul Kalam

Gus Mis sapaan akrab KH. Zuhairi Misrawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keutamaan, dan Kebangsaan, mengatakan Kiai Hasyim adalah seorang ulama peduli umat dan bangsa serta mempunyai pemikiran-pemikiran moderat. Artinya sebagai ulama ia pasti mempunyai umat yang harus diperhatikan dan diarahkan ke tujuan yang seimbang atau moderat. Dan sebagai seorang yang dilahirkan di negeri ini, ia mempunyai keinginan kuat untuk memperjuangkan cita-cita bangsa.

Kita semua seyogyanya bersaksi, Hadratussyaikh, kiai, santri dan pejuang negeri yang turut menggerakkan Resolusi Jihad 45 bisa disimpulkan dengan tiga kata,‟ Ia lahir, berjuang, dan syahid”. Bahwa the great man, manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia yang lain hanya menunggu dia seperti kayu bakar.

Hadratussyaikh adalah sebuah contoh utama, teladan mulia di bumi pertiwi. “ Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ihwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang terjadi pada mereka. Hingga saat-saat kepunahannya akan mengetahui bahwa kejayaaan yang menggelimangi mereka, kebanggaan yang mereka sandang. Dan kemuliaan menjadi perhiasan mereka. Tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegangi. Yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia-sekata, searah setujuan dan pikiran mereka seiring,” demikian dawuh Hadratussyaikh. Bangsa yang keren dan top markotop adalah bangsa yang mampu bersatu padu mengayomi ribuan keragaman suku, budaya, etnik dan agama.

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari telah mengajarkan kita bagaimana melawan, walaupun mereka gajah, kita semut kita lawan mereka dengan cara kita, dengan cara kita. Bahkan bagaimana kancil menghadapi serigala, semua sudah diajarkan tetua para kiai dan santri di masa penjajahan. Semua tergantung diri kita saat ini. Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan, kiai.

Sekali lagi, Selamat Hari Santri nasional, sebagaimana ucapan Karl Marx, dalam karya pembuka Edward W. Said, Orientalism (1978),”They cannot represent themselves, they must be represented”. Saatnya santri mempresentasikan diri mereka sendiri, yang selama ini dipresentasikan orang lain dengan cara yang kurang tepat dan tidak jelas. Santri tetap mencintai negeri, menggapai ridha ilahi. Karena santri adalah kita, untuk Indonesia.

Akhirnya, sahabat-sahabati yang keren di penjuru Tanah Air. Negeri tercinta ini wajib kita warnai dengan passion, bakat, skill, inovasi, kreativitas, dan cinta kita memajukan negara. Karena kita adalah santri, santri adalah kita, bangkit memajukan dan mencerahkan bangsa yang saat ini dilanda wabah. Seperti maunya group band Korea Blackpink: Light up the sky, tentunya langit cerah Indonesia.

Akhirnya, saya tutup dengan puisi indah dari Sang penyair celurit emas, Kiai Zamawi Imron judulnya Tanah Air SajadahKarena Tanah Air adalah ibunda kita/Siapa mencintainya jangan menodainya dengan dosa/Siapa menghormatinya jangan mengotorinya dengan darah/Tanah Air adalah sajadah/Tempat bersujud mengagungkan Allah.

Sekarang, marilah kita kenang walaupun dengan deg-degan, dengan setia kobarkan apa yang dikatakan Ayahandanya Gus Dur, Kiai Wahid Hasyim, Membaca sejarah itu penting, tetapi membuat sejarah itu lebih penting. Cinta tanah air adalah bagian dari Iman. Yuk lanjutkan Resolusi Jihad 45 Hadratussyaikh di era kekinian.

Secangkir kopi senja ini terasa agak beda.

Mungkin kita belum lantunkan Al-fatihah kepada Sang cinta.[]

Dinno Brasco (Penulis Buku Indonesia dalam Secangkir Kopi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *