The Power of Muhammad

Jakarta, Liber Times–Ada apa dengan Muhammad? Mengapa pencintanya sampai begitu gila, banyak dari pengikutnya rela mati karenanya. Sebesar apa dia? Sampai-sampai hinaan terhadapnya berarti menyulut api perlawanan.

Bagaimana mungkin sosok yang sudah wafat 1400 tahun lalu dapat mempengaruhi konstelasi perpolitikan global saat ini. Karenanya, Prancis yang merupakan salah satu kiblat dari pariwisata dunia, kepanikan diboikot oleh banyak negara, hingga mengalami resesi ekonomi (karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Muhammad secara sistemik serta menyebarkan Islamofobia).

Tidak cukup sampai di sana, gelombang protes pun terus mengalir sampai pada titik mengkhawatirkan. Meski ekspresi yang diaktualkan oleh pecinta Muhammad tidak selalu tepat, seperti melakukan tindakan pembunuhan dan teror, namun hal itu tidak berarti begitu saja dapat mereduksi sebuah letupan emosional yang didasarkan pada semangat cinta dari sebagian orang yang lebih memilih mengekpresikannya dengan cara elegan. 

Berbagai teori sosial maupun psikologi selalu menemui jalan buntu untuk menganalisa fenomena tidak biasa ini. Ada rahasia apa di dalam diri Muhammad? Mengapa pengaruhnya begitu besar dan semakin berlipat ganda setelah ia tiada?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di setiap kepala orang ketika berbicara mengenai sosok agung ini. Muhammad yang dikenal sebagai Nabi Islam, tidak hanya dipuja oleh orang Islam saja, Jerman ternama, Goethe, ia mengungkapkan kekagumanya kepada Muhammad dengan berkata” Sesungguhnya kita warga Eropa dengan seluruh pemahaman kita, belum sampai kepada apa yang telah dicapai Muhammad. Dan tidak akan ada yang melebihi dirinya. Saya telah mengkaji dalam sejarah tentang keteladanan yang tinggi untuk umat manusia ini. Dan saya temukan itu pada Nabi Muhammad. Demikianlah seharusnya kebenaran itu menang dan tinggi, sebagaimana Muhammad telah sukses menundukkan dunia dengan kalimat tauhid.” Ucapnya.

Thomas Charyle, seorang sejarawan Barat, menyatakan Muhammad sebagai tokoh yang besar dan heroik. Di dalam salah satu pidatonya ia menyatakan, “Biarkan mereka memanggilnya apa pun yang mereka inginkan. Tidak ada kekaisaran dengan mahkota dan takhta yang begitu ditaati seperti ini, sehingga pria ini dalam jubah sederhana yang dijahit oleh tangannya sendiri, yang telah menanggung semua penderitaan dan cobaan hidup yang paling sulit selama dua puluh tiga tahun, dan telah mengalami banyak kesulitan. Secara pribadi, saya melihat dalam dirinya semua karakteristik pahlawan sejati, itu saja”, Ucap Thomas.

Terlalu banyak para kaum cerdik Barat yang menyatakan hal serupa, meski sebagian juga ada yang berpendapat sebaliknya, yang lebih didasarkan pada sikap sinisme teologis semata. Namun demikian, keunikan Nabi Islam ini ternyata selalu saja melampui kesan-kesan teologis,  sehingga orang yang tidak mengimaninya pun mengakui kebesaranya. Maka tak heran bila Michael H. Hart di dalam bukunya The 100, menempatkan Muhammad sebagai  tokoh nomor satu yang paling berpengaruh dunia. 

Oleh karena itu, saya tidak merasa perlu lagi menyajikan bukti-bukti lain untuk mengambarkan kemuliaan Muhammad Karena apapun yang kita ungkapkan hanyalah ibarat setetes air lautan di tengah luasnya samudra. Kita tidak akan pernah benar-benar mampu melukiskan semua ini, kata-kata hanya akan mereduksi kebesarannya. 

Ia laksana atom yang akan terus menimbulkan vibrasi luar biasa di hati setiap pecinta. Bila disederhanakan dalam bahasa yang paling membumi, ia tampak seperti manifestasi kongkret dari kesempurnaan logika, estetika dan etika, bahkan lebih dari itu semua, hati selalu saja bergetar di hadapanya.

Kecintaan padanya mampu menciptakan arus gerakan sosial yang bergelombang. Ini perasaan yang sangat emosional dan tak akan mampu dilukisan dengan berbagai umpama dan analogi apapun. Sungguh mengagumkan. Barangkali ini yang membuat pecintanya rela mati untuknya, yang begitu tersinggung saat namanya di hina. Itu tak lain dan tak bukan hanyalah ekspresi yang sah dalam dunia cinta, meski tampak tak lazim dalam paradigma konvensional.

Berangkat dari nilai-nilai di atas, saya memutuskan untuk tidak ikut serta di dalam perdebatan polemik terkait bagaimana seharusnya kita merespon kasus penghinaan terhadap pribadi Nabi, yang belakangan ini memenuhi beranda kita.

Sebagian ada yang menuntut bahwa Umat Islam mesti marah ketika Nabinya dihina, sedang yang lain merasa paling bijak, dan sok berdakwah tentang arti kesabaran dan pentingnya sikap memaafkan. Entah mengapa kebanyakan kita selalu saja terjebak pada perdebatan non substansial tersebut, tampak lebih suka bertengkar kepada sesamanya sendiri, sehingga kita seringkali gagal fokus pada inti permasalahan yang sebenarnya. 

Perihal marah dan memaafkan semestinya tidak perlu menjadi topik utama, ini  jelas kontra produktif. Banyak tantangan besar di depan sana yang m4enuntut kita untuk lebih giat lagi dalam mengokohkan persatuan dan segera menyudahi segala macam polarisasi yang hanya menimbulkan perpecahan. Kecintaan terhadap Muhammad Saw rasanya sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan bahwa agama ini bukan hanya tentang ahlak dan ritual semata, tapi juga tentang perlawanan dan keadilan.  
 
Penulis: M. Reza Al-Habsyi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *