Menafsir Arkoun: Pemahaman Kritis terhadap Hubungan Nalar Islam dan Al-Quran

Oleh: Rahmalia Afiati Rizkina (Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Islam, sebagai agama yang memiliki Al-Quran sebagai sumber utama wahyu, memiliki peran sentral dalam membimbing umatnya dalam kehidupan spiritual dan moral. Namun, dalam proses menafsirkan Al-Quran, muncul berbagai pendekatan yang mencerminkan keragaman pemikiran di dunia Islam. Salah satu tokoh yang mencuat dengan pendekatan yang kritis dan kontekstual dalam menafsirkan Al-Quran adalah Muhammad Arkoun, seorang pemikir kontemporer dari Aljazair.

Arkoun mengusulkan suatu pendekatan yang melibatkan keterbukaan terhadap konteks sejarah dan sosial, membangun jembatan antara nalar Islam dan realitas kontemporer.Muhammad Arkoun, lahir pada tahun 1928 di Algeria, memiliki latar belakang pendidikan yang melibatkan studi-studi di bidang filsafat, sastra, dan ilmu-ilmu sosial. Keberagaman pendidikan ini membentuk pemikirannya yang mencakup berbagai disiplin ilmu, dan ini tercermin dalam pendekatannya terhadap Islam dan Al-Quran.

Pendekatan kritis Arkoun tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan politik yang melingkupi kehidupan muslim pada masanya. Pada era di mana berbagai perubahan dan tantangan terjadi, termasuk kolonialisasi dan modernisasi, Arkoun menyadari bahwa pendekatan tradisional terhadap tafsir Al-Quran mungkin perlu diuji ulang. Ia menilai bahwa tafsir tradisional seringkali bersifat statis, melupakan bahwa Al-Quran sendiri bersifat dinamis dan mengandung potensi untuk berbicara dengan berbagai konteks dan realitas zaman.

Arkoun menolak pandangan literal terhadap Al-Quran. Baginya, teks suci ini harus dipahami dalam kerangka kontekstual yang lebih luas, melibatkan pemahaman akan kondisi sejarah, budaya, dan sosial di mana wahyu itu diungkapkan. Pemahaman kritis ini membuka jalan bagi penafsiran yang lebih fleksibel dan responsif terhadap perubahan dalam masyarakat.Pemikiran Arkoun tentang hubungan nalar Islam dan Al-Quran menunjukkan keinginannya untuk meretas tembok pemisah antara tradisi keagamaan dan perkembangan intelektual. Menurutnya, nalar Islam tidak boleh diamputasi dari perkembangan sosial, budaya, dan ilmiah.

Sebaliknya, nalar Islam harus menjadi pendorong pemahaman yang lebih dalam terhadap Al-Quran, memungkinkan umat Islam untuk menjawab tantangan zaman dengan bijaksana.Dalam pemahamannya, Arkoun menciptakan konsep dialog antara nalar Islam dan konteks global. Ia meyakini bahwa Islam, sebagai agama yang universal, dapat memberikan panduan moral dan etika yang relevan dalam berbagai konteks kultural dan sosial.

Dengan membuka diri terhadap berbagai tradisi intelektual, Arkoun berharap agar umat Islam dapat mengembangkan kebijaksanaan dan kepemimpinan yang mampu merespons kompleksitas dunia modern.Arkoun juga menyoroti pentingnya menciptakan ruang bagi pluralisme pemikiran dalam masyarakat Islam. Ia menentang keras kerasan intelektual dan kekakuan dogmatis, mengajak umat Islam untuk membangun budaya intelektual yang inklusif.

Dalam visinya, keragaman pemikiran adalah kekayaan yang dapat memperkaya pemahaman terhadap ajaran Islam dan Al-Quran.Konsep pemahaman kontekstual menjadi tonggak utama dalam pemikiran Arkoun. Ia mengkritik tafsir tradisional yang cenderung mengabaikan konteks sejarah dan budaya, menyederhanakan pesan-pesan Al-Quran tanpa memperhitungkan kompleksitas realitas sosial.

Dalam pandangan Arkoun, untuk memahami sepenuhnya pesan-pesan ilahi, kita harus memahami latar belakang historis dan sosial di mana wahyu itu diungkapkan.Arkoun menekankan bahwa Al-Quran bukanlah suatu entitas yang terisolasi dari perubahan sosial dan pemikiran manusia.

Sebaliknya, Al-Quran harus dipandang sebagai kitab yang hidup, mampu berbicara dengan berbagai realitas zaman. Pemahaman kontekstual ini tidak hanya menghasilkan penafsiran yang lebih akurat, tetapi juga menjembatani kesenjangan antara tradisi keagamaan dan tuntutan zaman modern.

Dalam konteks pemahaman kontekstual, Arkoun memperkenalkan konsep “demokratisasi pemahaman.” Ia berpendapat bahwa pemahaman terhadap Al-Quran tidak hanya terbatas pada para ulama atau elit intelektual. Sebaliknya, pemahaman ini harus menjadi hak dan tanggung jawab bersama umat Islam. Ini melibatkan pengakuan bahwa setiap individu, dengan berbagai latar belakang dan keahlian, dapat memberikan kontribusi berharga dalam memahami dan merespons pesan-pesan Al-Quran.

Muhammad Arkoun, dengan pendekatan kritisnya terhadap Al-Quran, telah memberikan sumbangan penting dalam menafsirkan teks suci Islam. Pemikirannya yang terbuka terhadap konteks sejarah, sosial, dan intelektual menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang mencari pendekatan yang lebih dinamis dan responsif terhadap realitas zaman.

Pendekatan Arkoun terhadap hubungan nalar Islam dan Al-Quran menegaskan pentingnya dialog, inklusivitas, dan pemahaman kontekstual untuk membentuk pemikiran Islam yang relevan dan berkelanjutan. Dengan demikian, pemikiran Arkoun bukan hanya memperkaya warisan intelektual Islam, tetapi juga membuka peluang bagi umat Islam untuk lebih baik beradaptasi dengan kompleksitas dunia modern.