News  

Politik Identitas dan Politik Semakin Memanas

Jakarta, Liber Times–Pemilu dan Pilpres masih dua tahun, tetapi terasa suasana mulai hangat. . Indikasinya tampak antara lain ricuh antara kader PDI-P vs kader PPP di Magelang . Beberapa isu politik nasional juga mulai dilempar ke publik misalnya pro dan kontra ttg BRIN, kritik tajam atas pemindahan ibukota, isu dugaan korupsi anak pejabat tinggi, treshold 0 % dstnya..

Tentu saja perkembangan situasi politik prematur tersebut menimbulkan kekhawatiran atau was-was sebagian masyarakat dikala proses pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi mulai menggeliat. Jangan sampai suasana politik dalam kaitannya degan siklus lima tahunan tsb menjadi semakin memanas dan tidak terkendali.

Dimanakah letak persolannya sehingga sinyalemen seperti dikemukakan diatas terjadi ?. Kalau dicermati persoalan pokoknya bersumber dari realitas masih berlangsungnya pembelahan atau polarisasi masyarakat sejak 2016. Pada hal kompromi politik telah berhasil diupayakan oleh pemenang pilpres dengan cara membentuk koalisi besar dan menarik Prabowo – Sandiaga Uno kedalam kabinet.

Tentu saja kita tidak perlu mencari kambing hitam siapa yang disalahkan dalam masalah ini karena yang diperlukan adalah bagaimana kita bisa keluar dari masalah tersebut ?. Elite politik sesungguhnya telah menyadari bahwa penyebab pembelahan masyarakat tersebut adalah : kita telah terjebak kedalam praktek “ politik identitas “ terutama sejak pilgub DKI 2016.

Pemerintah telah berusaha menangani persoalan tersebut dengan pendekatan politik hukum antara lain dengan menghukum BCP dan HRS yang dalam pandangan umum dianggap menjadi pemicu awal terjadinya “politik identitas”. Dan dalam hal ini , aparat keamanan juga sedang melakukan proses tindakan hukum terhadap HBS .

Tetapi hal itu tidak bisa melenyapkan limbah dari politik identitas. Dan kenyataannya melalui “sarana medsos” politik identitas itu terpelihara dengan baik. Dalam hal ini banyak pihak yang menimpakan kesalahan terhadap “ para pendengung”, padahal sejatinya mereka hanyalah alat saja. Persoalannya tidak ditangan mereka.

Dalam upaya memecahkan masalah ini yang harus dipahami adalah faktor apa yang memicu bangkitnya “politik identitas” yang merupakan perwujudan dari premordialisme. Premordial merupakan sifat yang melekat pada setiap golongan misalnya suku, agama, bangsa dan berhimpitan erat sekali sikap toleran yang juga melekat pada setiap golongan diatas ketika bereaksi dengan kelompok luar.

Premordial ( inward looking ) terkait dengan “keakuan atau frasa kami”, sebagai satu suku atau agama , sedangkan individu sebagai bangsa terikat pada sikap “outward looking” atau “kita sebagai bangsa”. Keduanya diperlukan untuk memelihara eksistensi seseorang dalam interaksi internal (inward looking) dan interaksi diluar kelompoknya dalam hal ini suatu bangsa (outward looking).

Dalam doktrin “Bhineka Tunggal Ika” terkandung norma yang merupakan nilai warisan leluhur sebagai kearifan lokal bangsa yang mengatur interraksi warga bangsa. Didalam satu suku, agama atau parpol, berlaku pada “ranah private” dimana premordial bisa diekspresikan secara bebas. Tetapi dalam pergaulan nasional yang berlaku adalah “ranah publik” dimana yang berlaku adalah kepentingan bersama sebagai bangsa.

Kesimpulannya adalah: menghilangkan atau mengurangi politik identitas memerlukan proses dialog tiada henti dan tidak cukup dengan pendekatan hukum. Tindakan hukum hanya bagian awal sebagai deterrent (daya gertak) dan kemudian dilanjutkan dengan proses dialog tiada henti (proses politik/penggalangan) untuk memelihara dan memperkuat eksistensi sebagai bangsa ditengah interaksi global.

Penulis: KH. As’ad Said Ali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *