Gus Yahya, Antara Polemik dan Harapan

Oleh: Habib Reza Al Habsyi, MA.

Jakarta, LiberTimes-Gus Dur lahir kembali, kata sebagian orang untuk menggambarkan sosok ketua PBNU yang baru. Benar, ia adalah Gus Yahya Staquf. Jauh sebelum Muktamar NU ke 34, Gus Yahya memang selalu digadang-gadang untuk tampil ke dalam kontestasi yang lebih luas. Dengan berbagai gagasan dan langkah yang dinilai reformis, sebagian warga Nahdiyin melihat ada setitik harapan, NU akan selangkah lebih maju. Ini terbukti ketika perolehan suara kakak kandung dari Menteri Agama RI saat ini (Yaqut Cholil Quomas), jauh mengungguli Kyai Said Agil Siraj dan Kyai Assad pada Muktamar, Lampung akhir Desember lalu.

Meskipun demikian, tidak sedikit yang khawatir atas kemenangan Gus Yahya ini. Pro dan kontra memang selalu ada, sebagai bagian dari dinamika kehidupan. Setidaknya ada bebebara hal yang menjadi sorotan publik. Antara lain, kedekatannya dengan Israel.

Kunjungan Gus Yahya ke Israel pada pertengahan 2018 lalu, masih melekat begitu tajam dibenak masyarakat Indonesia, terkhusus masyarakat muslim Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa konflik Israel-Palestina ini sangat sensitif dan memiliki berbagai implikasi signifikan. Maka tidak heran, Gus Yahya banyak menuai kritik bahkan kecaman atas langkah dan sikapnya tersebut. Di samping itu, sikapnya ini tampak tidak singkron dengan pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi beserta kabinetnya sudah memasang garis tegas atas keberpihakannya terhadap Palestina, yang secara otomatis menolak segala bentuk normalisasi dengan Israel.

Alih-alih bermaksud mengembangkan NU, justru langkah Gus Yahya ke Israel dirasa kurang tepat dan tidak populer secara politis, yang kemudian dikhawatirkan dapat mengganggu hubungan NU dengan mitra-mitra strategisnya di Timur Tengah, terutama dengan negara-negara yang resisten terhadap Israel. Apalagi saat ini beliau menjadi ketua umum PBNU, jelas dampaknya akan lebih luar biasa ketika memiliki rekam jejak yang tidak populer.

Salah satu dampak yang paling elementer ialah menimbulkan dugaan dan kecurigaan yang sifatnya konspiratif, bahkan tidak sedikit yang berspekulasi mengait-ngaitkannya dengan hasil Mukmatar lalu. Walaupun pandangan ini jelas tidak berdasar dan terlampau mengada-ngada.

Namun diluar itu semua, Gus Yahya memiliki “apologi” yang kuat atas sikapnya tersebut. Menurutnya, langkah strategis untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina ialah dengan cara pendekatan dialogis dan saling memahami satu sama lain atau barangkali lebih dari itu, bekerja sama dalam aspek tertentu.

Meski jawaban Gus Yahya tersebut penulis anggap sebagai hal yang sama sekali normatif, tetapi tampaknya cukup untuk dapat meyakinkan sebagian pihak. Bahkan langkahnya ini dianggap terilhami oleh Gus Dur yang memang terkenal memiliki sikap lunak terhadap Israel. Memang benar, ia pelanjut Gus Dur, walau tak sama dan jauh, jauuuuuh berbeda.

Masalah lain yang tak kalah pentingnya ialah, sikap Gus Yahya kepada Kaum Alawiyyin/Habaib yang dinilai cukup polemis. Di awali dengan sindiran beliau terhadap Habib Umar Bin Hafidz ketika sering berkunjung ke Indonesia, sampai pada puncaknya beberapa waktu lalu, dengan tegas dan lugas ia memunculkan narasi Al Asyraf Ats Tsaniyah, tentang “Habaib Pengungsi”. Jelas pernyataan ini sama sekali tidak konstruktif dan sangat tendensius. Maaf bila saya harus mengatakan, “cendrung sedikit rasial”

Sebagian pendukungnya segera membela. Mereka mencoba mentaqwil pernyataan beliau terkait maksud dan tujuannya. Tetapi apapun tujuan, alasan dan maksud dari perkataan tersebut, tetap saja tidak elok. Karena yang beliau sampaikan bersifat umum dan bukan pada person tertentu.

Di sela-sela Muktamar lalu tersiar video Kyai Marzuki Mustamar bersama Habib Luthfi dan beberapa orang lainnya. Di dalam video tersebut terlihat Kyai Marzuki mengecam dengan keras orang-orang yang memusuhi Ahlulbait dan para Habaib, dan diakhiri dengan beliau mencium tangan Habib Luthfi. Saya tidak tahu apakah ini sebuah sindiran, atau hanya sekedar ungkapan cinta serta Bara’ah. Pastinya hanya beliau-beliau yang mengetahui.

Untuk itu dalam konteks ini, sebaiknya Gus Yahya dapat belajar dari para ulama-ulama NU terdahulu yang selalu bersikap tawadhu dalam membangun hubungan baik dengan para habaib. Kalau pun harus mengkritik, kritiklah dengan cara yang baik. Apalagi Gus Yahya ini seorang tokoh dan bukan awam, yang setiap ucapannya sudah tentu memiliki dampak luar biasa. Kita tidak ingin kedepan akan timbul sebuah kesan bahwa kepemimpinan NU saat ini tidak menghormati para Habaib. Naudzubillah.

Wal Hasil, tampaknya menarik melihat langkah-langkah apa aja yang akan ditempuh oleh Gus Yahya, dalam mengimplementasikan visi-misinya, membawa NU menjadi organisasi sosial keagamaan yang lebih responsif terhadap isu-isu kongkret kenegaraan, termasuk persoalan ekonomi, ekologi dan moral. Tentu kita berharap akan ada akselerasi baru yang membuat NU selangkah lebih maju, sebagaimana yang beliau janjikan.

Exit mobile version