Hari Ibu dan Distorsi Makna Perjuangan Kaum Perempuan

Bagi kebanyakan orang, hari ibu merupakan momen istimewa. Mereka berbondong-bondong mengirimkan ucapan dan hadiah yang unik kepada Ibu saban tahunnya dalam peringatan ini. Hal demikian dianggap sebagai pengutaraan kasih sayang anak atau keluarga kepada Ibu yang telah berjasa dalam kehidupan mereka.

Perayaan hari ibu memiliki sejarah dan peringatan yang berbeda pada setiap negara, meski esensinya hampir serupa. Di Amerika Serikat, peringatan hari ibu didasarkan atas perjuangan Anna Maria Jarvis -atau Ann Jarvis- paska wafatnya sang Ibu, untuk memperingati hari ibu dalam skala nasional dan menetapkannya sebagai hari libur nasional di negara tersebut.

Di Prancis, peringatan itu dilaksanakan saban tanggal 26 Mei sebagai bentuk penghormatan terhadap para istri yang ditinggal gugur suaminya dalam Perang Dunia 1. Mulanya, pemerintah di negara ini memberikan medali untuk para Ibu yang terpilih, namun seiring berjalannya waktu tradisi ini mulai ditinggalkan. Sedangkan di Jepang, hari ibu diperingati saban tanggal 12 Mei dengan memberikan bunga, ucapan, atau kue untuk Ibu sebagai tanda kasih sayang dan penghormatan kepadanya.

Di Indonesia, peringatan hari ibu memiliki sejarah panjang tersendiri. Pada tanggal 22 hingga 25 Desember 1928, para perempuan lintas gerakan dan lintas latar belakang se-Jawa-Sumatera melaksanakan sebuah pertemuan akbar yang diikuti oleh sebanyak 600 orang di Ndalem Joyodipuran Yogyakarta.

Kongres ini dilaksanakan masih dalam suasana penjajahan kolonial Belanda. Uniknya, pertemuan ini justru mengeluarkan sebuah kesepakatan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.

Pada masa itu, perempuan hanya diperbolehkan mengurus hal-hal yang sifatnya domestik (rumah tangga) dan tidak diperbolehkan mengenyam bangku Pendidikan sebagaimana halnya kaum laki-laki.

Para perempuan yang kemudian menamakan gerakannya sebagai Perikatan Perkoempolan Perempuan Indonesia (PPPI) ini terinspirasi dari perjuangan kaum perempuan pada abad ke-19 dalam melawan penjajah.

Ada beberapa topik yang dibahas dalam kongres ini seperti isu seputar pendidikan bagi anak-anak perempuan, perkawinan anak, kawin paksa, permaduan (poligami) dan perceraian secara sewenang-wenang, serta peran perempuan yang seringkali dianggap sebagai ‘kanca wingking’ alias teman belakang (hanya mengurus rumah tangga saja).

Kongres ini kemudian menghasilkan beberapa putusan, di antaranya:
1. Mendirikan badan federasi bersama dengan nama Perikatan Perkoempolan Perempuan Indonesia (PPPI)

2. Menerbitkan surat kabar/koran perempuan
Mendirikan studifonds yang akan menolong para anak perempuan dari keluarga tidak mampu dalam melanjutkan studinya

3. Memperkuat pendidikan kepanduan putri
Mengirimkan mosi kepada pemerintah Hindia-Belanda kala itu supaya memperbanyak sekolah putri, dan

4.Mengirimkan mosi kepada Raad Agama (pengadilan agama pada masa pemerintahan Hindia-Belanda) untuk menguatkan talak tertulis berdasarkan syariat agama.

Tahun 1930, para kaum perempuan tersebut kembali bergerak lebih jauh dengan menyatakan diri sebagai bagian dari perjuangan bangsa dan kemerdekaan nasional. Selanjutnya pada kongres kedua yang dilaksanakan pada 24 Juli 1935 di Jakarta, mereka kembali membahas isu seputar buruh/pekerja perempuan, pemberantasan buta huruf, dan juga tentang perkawinan.

Tiga tahun setelahnya, mereka kembali melaksanakan kongres ketiga di Bandung pada 20 hingga 24 Mei 1938. Dalam momentum tersebut para perempuan kembali membahas tentang undang-undang perkawinan modern, dan juga seputar hal pilih kaum perempuan dalam jabatan Badan Perwakilan (Voolksraad). Dalam kongres ini pula kemudian pertama kali disepakati bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.

21 tahun paska Kongres Perempuan Ketiga, Presiden Indonesia Ir. Soekarno melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 tahun 1959 yang dikeluarkan pada tanggal 16 Desember 1959 memutuskan bahwa Hari Ibu menjadi Hari Besar Nasional. Penetapan itu bertepatan dengan HUT ke-25 Kongres Perempuan Indonesia.

Pada mulanya, peringatan hari ibu ditujukan sebagai momentum untuk mengingat esensi perjuangan kaum perempuan pada Kongres Perempuan. Namun seiring berjalannya waktu, esensi perjuangan itu mulai terdistorsi oleh penafsiran serampangan masyarakat tentang hari besar ini. Sebagian orang hanya menganggap hari ibu sebatas sebagai hari untuk mengungkapkan kasih sayang mereka kepada Ibu, tidak lebih dari itu. Padahal, dibalik senyum Ibu pasti ada perjuangan berat yang dihadapinya sepanjang waktu.

Sudah selayaknya, peringatan hari ibu tak berhenti pada kasih sayang anak atau keluarga kepada ibu, tetapi lebih dari itu adalah perhatian bersama terhadap isu-isu yang diperjuangkan kaum perempuan lintas zaman dan peradaban.
Di zaman ini misalnya, para perempuan di Indonesia tengah bersikeras melawan tafsir agama yang serampangan dan bias terhadap kaum perempuan, hingga ragam kasus pelecehan serta kekerasan seksual. Sudah selayaknya, hari ibu menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas bersama dalam menghadapi isu tragis atas ketidakhadiran negara untuk melindungi kaum perempuan.

Kita tahu, belakangan marak kasus pelecehan terhadap perempuan yang dilakukan oleh tenaga pendidik baik formal maupun non-formal, pimpinan agama, hingga otoritas penegak hukum di Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya stigma-stigma negatif di tengah masyarakat terhadap para penyandang kekerasan/pelecehan seksual, dan makin diperburuk pula dengan absennya ketegasan para penegak hukum terhadap ragam kasus pelik yang dialami kaum perempuan.

Perjuangan perempuan dan pencetusan Hari Ibu pada Kongres Perempuan adalah sebuah awal dari perjuangan besar kaum perempuan dalam hal kesetaraan, keadilan, hingga kemanusiaan. Sayangnya saat ini semangat perjuangan itu telah terdistorsi demikian jauh dari ghiroh aslinya.

Saatnya kini para perempuan Indonesia yang telah melek sejarah, literasi, dan peradaban, bersolidaritas bersama menghidupkan ghiroh perjuangan yang telah dikobarkan oleh para pejuang pendahulu perempuan dalam kongres Perempuan, salah satunya dengan terus lantang menyuarakan pengesahan RUU-Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebab nantinya undang-undang ini akan banyak membantu melindungi khususnya bagi para perempuan dari kejahatan berbasis gender baik secara verbal maupun non-verbal, baik secara langsung maupun secara online. RUU-TPKS ini adalah bagian tak terpisahkan dari nilai-nilai yang diperjuangkan dalam Kongres Perempuan Indonesia.

Selamat hari Ibu dan Selamat Hari Perempuan Nasional!

Exit mobile version