Magelang, Liber Times-Penguasaan dunia digital adalah kunci! Begitulah kira-kira penulis berpendapat mengenai pertarungan wacana untuk mempengaruhi opini publik di era digital ini. Setelah dulu heboh dengan keluarnya thriller film “The Santri” yang banyak menuai kritikan, dan pada akhirnya hampir satu tahun setelah keluarnya thriller tersebut, film itu tidak nyata-nyata tayang, NU Channel pada awal Februari 2021 ini menayangkan thriller film “Super Santri”. Apakah film ini akan bernasib sama dengan film The Santri? Hemat penulis tidak.
Film yang disutradarai oleh G. Doeh ini masih menggarap tema besar kehidupan santri dengan segala masalah dan tantangannya. Dari thriller yang sudah dipublikasikan, penulis beranggapan bahwa film ini cukup baik dalam menggambarkan realita santri pada masa sekarang ini. Di samping berkisah tentang pertarungan antara Super Hero Santri dan Super Criminal Syndicate, film ini juga menyajikan petuah hidup dan tak lupa kritik sosial juga diketengahkan dalam film ini. Penulis mencoba menjelaskan sisi menarik dari alur cerita yang diambil dari thriller film Super Santri.
Diawali dengan penjelasan Gus Miftah, pendakwah yang dulu sempat viral karena berdakwah di tempat hiburan malam itu yang memberikan wejangan kepada santri tentang makna silat. Menurut Gus Miftah, silat itu merupakan olahraga batin, di mana semakin tinggi ilmunya otomatis harus tinggi pula kepribadiannya. Hal ini bisa dimaknai dari dua sisi, yang pertama santri yang belajar silat haruslah mempergunakan kemampuannya untuk hal-hal yang bersifat positif, bukan malah menyalahgunakannya.
Makna yang kedua, silat juga bisa diartikan alat untuk bertarung atau melindungi diri. Di era modern ini santri dituntut lebih dalam mengembangkan ilmunya di berbagai sektor. Maka dari itu seorang santri harus bisa “silat” atau skill. Misalnya dalam dunia digital ini, santri mau tidak mau dituntut untuk melek terhadap teknologi, jangan sampai medan digital dikuasai oleh kelompok yang tidak mempunyai pengetahuan agama yang mumpuni. Silat atau skill sudah barang tentu suatu keharusan bagi seorang santri.
Sebagai seorang santri juga dibutuhkan kerja keras dalam perjalanannya menuntut ilmu. Sehingga Gus Miftah juga menyarankan berkhalwat di tempat sepi karena di tempat sepi seorang santri akan mendapatkan jiwa yang tenang atau muthmainnah. Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk menjadi seorang santri yang sukses harus dimulai dengan semangat yang tekun dan rajin. Khalwat di sini tidak saja diartikan menyendiri tetapi mencari tempat yang kondusif untuk mendalami ilmu agama. Fenomena kekacauan sekarang ditengarai karena banyaknya orang yang tidak kompeten namun sudah berani bertafwa. Mengutip ceramah Gus Mus bahwa belajar agama tidak bisa instan.
Fenomena yang marak sekarang juga banyaknya santri yang terjun ke politik. Gelanggang politik yang banyak memunculkan godaan menjadi tantangan tersendiri sebagai santri. Seorang santri yang diharapkan dapat membawa pencerahan dalam dunia politik, kadang-kadang tercoreng oleh oknum santri yang terjerat masalah klasik perpolitikan yaitu korupsi. Keadaan tersebut mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap santri menjadi menurun. Sehingga Gus Helmy Faisal Zaini, sekarang Sekjend PBNU mengingatkan bahwa tidak seharusnya santri dan masyarakat itu terpisah. Santri harus banyak turun di masyarakat dan melihat langsung keadaan masyarakat, ini tamparan keras bagi santri.
Di tengah thriller ini juga disisipkan petuah bagi umat Islam untuk bersatu melalui pitutur Gus Miftah bahwa sehebat-hebatnya superman pasti kalah dengan super team. Penulis jadi teringat bahwa alasan berdirinya NU adalah untuk mewadahi umat Islam Indonesia khususnya yang berpaham Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Hal ini juga sesuai apa yang diamanatkan Habib Luthfi menanggapi ada pernyataan di masyarakat yang menyuruh tidak perlu masuk NU, yang penting tetap Ahlus Sunnah. Menurut Habib Luthfi itu adalah cara orang yang ingin menghancurkan NU, dengan tidak penting masuk NU. Beliau mencontohkan tragedi yang menimpa cucunda Nabi, Imam Husein yang kalah karena tidak mempunyai wadah organisasi.
Sebagai organisasi Islam yang mempunyai ciri khas karena dekat dengan budaya setempat, menjadikan NU sering mendapat serangan bertubi-tubi, tidak terkecuali doktrin kafir sering disempatkan pada organisasi ini. Pertarungan antara narasi kafir dan radikal dalam film ini harus disampaikan secara hati-hati, karena jika meleset sedikit, narasi bahwa NU kafir itu akan menguat. Kita tunggu saja sampai film ini tayang.
Sebelum thriller ini berakhir, Gus Miftah juga memberikan wejangan agar seorang santri ketika mencari pasangan tidak hanya melihat luarnya saja akan tetapi akhlak dan budi pekertinya. Cantik dan ganteng itu pasti tetapi akhlakul karimah dan setia itu adalah hal yang utama.
Layaknya film Superhero lainnya, ada sesuatu yang diberebutkan dan menjadi tujuan puncak. Kelompok antagonis menginginkan “Nine Stars” agar bisa dikendalikannya. Hal ini mengisyaratkan bahwa NU sebagai organisasi yang kokoh dengan kiprahnya yang terkenal ramah dan menyejukkan serta komitmen kebangsaanya yang tidak pernah pudar memberikan gambaran bahwa banyak pihak luar yang ingin menghancurkan NU.
Dari pemaparan di atas bisa diperoleh gambaran bahwa film ini sangat obyektif dalam memandang tantangan dan persoalan yang dihadapi NU sekarang. Kader NU sudah seharusnya tergerak untuk ambil bagian dalam menjadikan NU sebagai organisasi yang dulu dicita-citakan para pendirinya.