Jangan-Jangan Bukan Ahmadiyah yang Sesat?

Jakarta, Liber Times–Beberapa hari ini cukup ramai gejolak perdebatan tentang perpanjangan penyegelan rumah ibadah (masjid) Jemaah “Muslim” Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Sawangan Depok Jumat (22/10) lalu, setelah sebelumnya pada 2011 Pemerintah Kota Depok telah menerbitkan peraturan yang berisi larangan operasional masjid Al-Hidayah karena dianggap sebagai basis aliran “sesat” bernama Ahmadiyah dan dikhawatirkan sebagai sarana menyebarluaskan ajaran serta keyakinan mereka kepada masyarakat sekitar.

Aturan tersebut juga diperkuat dengan adanya SKB 3 Menteri Nomor 3 tahun 2008 tentang Ahmadiyah yang oleh beberapa pihak dinilai menjadi salah satu biang adanya perampasan hak-hak dasar kelompok minoritas Ahmadiyah di Indonesia.

Dalam video yang beredar, sejumlah warga dengan dikawal oleh aparat berseragam TNI-AD terlihat berkerumun di depan gedung masjid Al-Hidayah. Sebagian bahkan tidak bermasker dan tidak menerapkan prokes. Massa tersebut tidak saja melontarkan Takbir dan kalimat sumpah-serapah bahwa Ahmadiyah aliran sesat, namun mereka juga mengancam akan merobohkan bangunan masjid yang dibangun melalui dana pribadi para Jemaah Ahmadiyah.

Setahun terakhir, diskriminasi terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di Indonesia makin menjadi-jadi. Diskriminasi tersebut bukan saja datang dari kalagan masyarakat, tapi dari pemerintah daerah. Salah satu kasus yang sangat mengoyak hati nurani dan perikemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa yang berbhinneka pada tahun 2021 ini adalah peristiwa pembakaran masjid Ahmadiyah di Sintang Kalimantan Barat pada September lalu.

Betapa peristiwa itu sangat memperlihatkan bahwa negara dan sebagian masyarakat masih belum bisa legowo menerima perbedaan antarumat manusia, bahkan menghakimi kelompok lain adalah jalan pintas yang seringkali diambil demi “membela” keyakinan mereka.

Padahal, pintu-pintu dialog antarumat beragama dan berkepercayaan dibuka sangat lebar di era ini. Lantas mengapa masih ada prasangka, intoleransi, hingga diskriminasi terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda? Lalu, apa sebenarnya pencapaian dialog lintas kepercayaan jika toh nyatanya tidak banyak memberikan dampak terhadap keharmonisan hidup antarumat beragama serta kebebasan dalam melaksanakan hak-hak mereka sebagaimana dijamin oleh UUD 1945?

Padahal jika kita mengetahui track record atau rekam jejak Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sesaat setelah Indonesia mengumumkan proklamasi Kemerdekaan RI hingga sekarang ini, kita akan tahu betapa mereka sangat mencintai negeri Indonesia dengan sepenuh hati. Dalam merealisasikan rasa cinta itu, tak jarang mereka menggelar aksi-aksi kemanusiaan yang tak terduga; donor darah, mata, organ dalam, dan aksi-aksi kemanusiaan lain. Apakah itu tidak cukup menggugah nurani bahwa mereka adalah orang-orang baik?

Lantas mengapa hanya karena masalah keyakinan, sebagian dari kita langsung men-judge mereka tanpa ampun, tanpa memberikan sedikit saja celah objektif tentang Ahmadiyah? Jangan-jangan bukan Ahmadiyah yang sesat, tetapi nurani kita yang jauh tersesat!

Sebagian dari kita seringkali membungkam hak-hak dasar pemeluk Ahmadiyah untuk bisa setara di hadapan negara sebagaimana komunitas penganut agama yang lain. Karena bagiamanapun, mereka adalah bagian dari warga bangsa yang harusnya mendapat perlakuan setara. Misalnya apa yang terjadi beberapa tahun silam kepada salah satu penganut Ahmadiyah yang dipecat dari kantornya karena dianggap penganut aliran sesat dalam Islam. Apakah hanya karena dia penganut Ahmadiyah, lantas Ia tak berhak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagaimana orang lain?

Diskriminasi lain juga beberapa kali terjadi di bidang pendidikan, pelayanan pernikahan, dan lain sebagainya. Meski tak banyak mencuat ke permukaan, namun kebiasaan buruk tersebut sangat berbahaya bagi masa depan harmonisasi kebangsaan kita. Ke depan, segala hal akan kita lihat dari kacamata kuda “apapun kebaikannya, apapun kompetensinya, kalau dia pemeluk aliran sesat, tak layak mendapat jaminan keamanan dan kesetaraan”.


Bukankah ini berbahaya? Terlepas dari pro-kontra adanya Fatwa MUI yang beberapa pihak meyakininya sebagai sebuah fatwa subjektif yang amat serampangan dan menjadi biang utama aksi diskriminasi terhadap komunitas JAI. Saya menilai, sikap intoleran dan diskriminatif adalah penyakit menular berbahaya yang harus sejak dini dicegah dan ditanggulangi. Tak hanya di kalangan masyarakat saja, di bidang hukum dan perundang-undangan juga harus mulai ditinjau serta dikaji lagi dan lagi. Supaya tidak menimbulkan kesan dualisme negara terhadap hak-hak para penganut agama/kepercayaan di Indonesia. SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah juga perlu ditinjau ulang dan dikaji lebih mendalam terkait pasal-pasal yang selama ini menjadi biang diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah.

Kalaupun hak-hak mereka tidak bisa dilindungi oleh negara karena keyakinannya yang dianggap menyimpang, apakah negara tidak bisa menyelamatkan hak-hak dasar mereka sebagai bagian dari warga negara, atau lebih dari itu sebagai bagian dari umat manusia?

Sebagian dari kita di luar sana memusuhi Ahmadiyah karena dianggap sesat, tetapi membiarkan dirinya mendukung gerakan dan ideologi kelompok Islam transnasional yang tengah berjuang mencederai fitrah Islam yang Rahmatan Lil Alamin. Sedangkan hal itu berbanding terbalik dengan komunitas Ahmadiyah yang justru berjuang tanpa lelah dalam merepresentasikan bagian dari Islam yang Rahmatan Lil Alamin.

Jadi sebenarnya, yang sesat itu Ahmadiyah atau kita?

Penulis: Vinanda Febriani, Pegiat Kerukunan Umat Beragama

Exit mobile version