Buya Syafii: Salam Semua Agama Bentuk Penghormatan, Bukan Mengimani Keyakinan

Jakarta, Liber Times–Beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa kepada masyarakat perihal himbauan untuk tidak mengucapkan salam semua agama kepada pejabat beragama Islam. Fatwa tersebut mendapat perhatian luas, baik yang pro dan kontra. Namun jika di lihat dari kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, agaknya fatwa ini terlalu ketat dan cenderung merobek kain toleransi yang selama ini telah dirajut bersama. Apalagi inti dari salam sebenarnya adalah mendoakan keselamatan, dan itu diajarkan oleh semua agama.

Menanggapi polemik perihal fatwa tersebut, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah tahun 1998-2005 Ahmad Syafi’i Maarif atau yang lebih dikenal sebagai Buya Syafi’i memberikan pandangan bahwa sikap MUI yang mengeluarkan fatwa tidak bolehnya menggunakan salam semua agama sebagai fatwa yang berlebihan dan cenderung ketat, karena melihat kenyataan Indonesia memiliki beragam agama dan kepercayaan. Salam diucapkan sebagai bentuk penghormatan, bukan serta merta mengimani keyakinan agama lain.

“Saya kira kita tidak perlu ketat-ketat untuk itu. Kita kan sebuah bangsa plural, bhineka tunggal ika,” ungkap Buya Syafii di sela peresmian patung Panglima Besar Jenderal Sudirman di Ringroad Barat, Gamping, Yogyakarta, belum lama ini.

Lebih lanjut Buya Syafi’i menambahkan, selama ini nonmuslim mengucapkan salam secara Islam pun biasa aja dan tidak berdebat soal keyakinan ini. Usaha yang harus direngkuh masyarakat Indonesia sekarang adalah membangun kemanusian antar pemeluk agama yang inklusif.

Salam semua agama yang awalnya untuk membangun kesadaran kebinekaan kita, harus terus dilaksanakan. Salam semua agama tidak akan mencampur adukan akidah maupun keyakinan masing-masing pemeluk agama.

Sehingga menurut Buya Syafi’i, semua agama harus berperan dalam menjaga toleransi, tidak boleh menjadi agama yang ekslusif dan tertutup, karena Indonesia dibangun atas kesadaran kebebasan dan saling menghormati antar pemeluk agama.

“Warga nonmuslim juga sering menyebutkan salam pembuka dengan cara agama lain. Karenanya hal itu tidak diperdebatkan atau bahkan dilarang. Karenanya yang lebih penting semua pihak bisa menjaga keutuhan dan kebersamaan bangsa. Masing-masing umat beragama tidak boleh merasa eksklusif,”pungkas cendekiawan muslim jebolan Chicago University tersebut. (Habibi/LTimes)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *