Khilafah Bukan Sistem Politik yang Sempurna

Jakarta, Liber Times-Beberapa waktu ini publik terasa riuh dan tersentak, pasalnya film dokumenter berjudul “Jejak Khilafah di Nusantara” ditayangkan untuk pertama kali. Efek visual yang bagus dan narasi yang memukau namun agitatif, ditengarai sebagai faktor sekunder film ini mendapat simpati publik yang agak luas.

Pro dan kontra terkait film tersebut tak terelakkan. Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi, ada satu hal yang luput dari wacana ini, yakni minimnya literasi kita mengenai sejarah politik Islam. 

Dalam literatur sejarah, pasca kematian Rasulullah SAW umat Islam pun sudah berselisih paham  mengenai siapa sosok yang pantas untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan. Pemilihan Al-KhulafaAr-Rasyidun pun sudah bermasalah.

Diangkatnya khalifah Abu Bakar sebagai khalifah pertama menandai awal huru-hara dan konflik di kalangan sahabat, hal ini ditandai dengan pembaitan secara sepihak sahabat Abu Bakar yang dikemudian hari terkenal dengan nama peristiwa Saqifah Bani Saidah, kejadian ini dirasa kurang elok karena terjadi  dalam suasana duka, bahkan dalam kitab Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad disebutkan, insiden pembaitan dilakukan ketika sahabat Ali bin Abi Thalib sedang mengurus jenazah Rasulullah SAW.

Padahal selepas haji wada (haji perpisahan) pada tahun 10 H, Nabi Muhammad SAW bersabda Man Kuntu Maulahu fa ‘Aliyyun Maulahu yang berarti “Siapa yang menjadikan aku (Nabi) sebagai kekasihnya, maka inilah Ali sebagai kekasihnya). Walaupun hadis ini tidak secara eksplisit menyebutkan sahabat Ali sebagai penerus Nabi, namun kedudukan sahabat Ali tentu sangat mulia dan harus diikutkan dalam pengambilan keputusan yang maha penting tersebut.

Banyak yang menyangsikan kebenaran hadis tersebut, yang oleh kaum Syiah dijadikan sebagai landasan peringatan Ghadir Kum, namun jika kita teliti lebih lanjut,  ternyata hadis tersebut diriwayatkan oleh lebih dari tiga ratus ulama Ahlu Sunnah, bahkan pakar hadis yang hidup di abad 3H yaitu Ibnu Jarir al-Thabari meriwayatkan hadis ini dengan tujuh puluh lima periwayatan yang tertulis dalam kitabnya, yaitu al-Wilayah.

Peristiwa Saqifah Bani Saidah ini menurut penulis muslim jebolan Universitas al-Azhar, Mesir, Dr. Oemar Hashem sebagai awal perselisihan umat. Dari peristiwa ini sudah seharusnya umat Muslim melek dengan sejarahnya, konflik, intrik, dan perselisihan selalu berkelindan dengan perebutan kekuasaan.

Tidak sampai di sini saja, nasib tragis juga menimpa sahabat-sahabat Nabi yang menjadi khalifah setelah Abu Bakar yaitu sahabat Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, serta Ali bin Thalib yang semuanya dibunuh secara kejam oleh lawan-lawan politiknya.

Mungkin banyak yang berpendapat bahwa masa AlKhulafaur Arrasyidun ini merupakan contoh ideal dalam melihat sejarah politik Islam. Namun faktanya pun tidak demikan, kita berpikir bahwa sahabat, orang yang dekat dengan Rasulullah yang dijanjikan masuk surga, ternyata juga saling berkonflik.

Bagaimana menyikapi hal tersebut? tentu harus hati-hati jangan sampai terjebak dalam pengafiran dan pencaci-makian. Satu hal yang mungkin bisa kita petik, Khilafah sebagai sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan Islam adalah multitafsir, jika ada klaim dari suatu kelompok yang mengampanyekan khilafah dan masih banyak yang memercayainya, sungguh sangat ahistoris.

Pada periode kekhalifahan Usmaniyyah, Abbasiyah sampai Turki Usmani pun intrik ini terus terjadi. Menurut cendekiwan NU yang mengajar di Monash University Australia, Nadirsyah Hosen melalui buku populernya yang diterbitkan dua jilid berjudul Islam Yes, Khilafah No membahas secara runtut kebobrokan kekhilafahan yang katanya bernafaskan Islam, penulis berpendapat sebagai sebuah dinasti saja.

Fenomena pemerintahan khalifah yang lalim, anti-kritik dan perebutan posisi khalifah yang dilakukan dengan penuh muslihat, bahkan tidak segan untuk saling membunuh, seolah menjadi hal yang lumrah dalam proses pemerintahan pada masa khalifah yang banyak diagung-agungkan oleh sebagian masyarakat Indonesia sekarang itu menandakan, masyarakat Islam di Indonesia belum sepenuhnya melek dengan sejarah politik Islam, utamanya bab Khilafah.

Demikian, sangat aneh jika kita masih disibukkan dengan perdebatan film tersebut yang sudah terang benderang menyajikan data dan fakta secara serampangan untuk membenarkan adanya jejak khalifah di Nusantara.

Apalagi pembuat film dokumenter tersebut ditengarai memiliki ikatan erat dengan organisasi transnasional yang sudah terkonfirmasi sebagai gerakan terlarang di lebih dua puluh negara yaitu Hizbut Tahrir, organisasi masyarakat (ormas) berkedok dakwah ini sangat berbahaya dan sarat akan kebohongan.

Setelah banyak dalil Al-Quran dan Hadis dipelintir untuk dijadikan legitimasi untuk wajibnya mendirikan khilafah ternyata mentah karena banyak ahli-ahli tafsir dan hadis yang membantahnya, ormas ini mencoba melegitimasi melalui sejarah dan hasilnya pun lagi-lagi mentah.

Sejarawan-sejarawan gaek pun ikut turun gunung mengedukasi masyarakat, bisa kita sebut seperti Azyumardi Azra, Oman Fathurrahman, Peter Carey, dan ahli arsip masa Turki Usmani yaitu Ismail Hakki Kadi. Persoalan ini seharusnya selesai di internal sejarawan, dan tidak perlu sampai mencuat ke publik.

Namun apa mau dikata, ternyata masyarakat kita masih percaya dengan narasi-narasi menyesatkan tersebut, tentu menurut hemat penulis masyarakat kita masih belum melek sejarah, miris. Karena ujian nasionalisme kita sangat gampang digoyahkan, rapuh.

Upaya Hizbut Tahrir (HT)  melegitimasi dari sudut panjang sejarah tentu ingin menggugah emosi umat Islam untuk membenarkan sistem khalifah lalu melakukan mosi tidak percaya dengan pemerintahan Republik Indonesia.

Apalagi dalam doktrin Hizbut Tahrir dikenal istilah Talabun Nusrah yang secara singkat bisa dimaknai sebagai kudeta, doktrin lain yang sangat berbahaya adalah menganggap orang yang tidak memperjuangkan khilafah islamiyyah ala HT sebagai orang yang melakukan dosa besar sebagaimana tertulis dalam kitab milik amir pertama HT Taqiyuddin an-Nabhani yaitu Asy Syakhshiyah Al Islamiyah.

Sikap ekslusif ini sudah seharusnya disikapi dengan tegas oleh pemerintah kepada oknum atau kelompok yang terus mendengungkan khilafaisme di bumi Pancasila ini.Jika pemerintah terus-terusan bersikap lembek, maka tinggal tunggu saja doktrin khilafaisme meracuni masyarakat yang masih awam, yang menurut hemat penulis masih banyak. Apa tolok ukurnya?

Sejarah khilafah yang multitafsir dan ormas HTI yang jelas-jelas kelam saja, ternyata banyak masyarakat yang termakan dengan klaim-kliam murahan itu.

Fenomena ini berkesesuaian dengan apa yang disampaikan oleh Harold Lasswell, dalam bukunya Propaganda Technique in The World War (1927) yang menggambarkan sebagai bullet theory atau teori peluru, yang mengandaikan pesan media langsung “menembak” dan mengenai audiens lebih parahnya diterima dengan mentah-mentah.

Ide khilafah yang terus dikumandangkan secara militan oleh kader-kader HT ini harus diwaspadai sebagai bom waktu yang setiap waktu bisa meledak, sebagaimana  pendapat Michiko Kakutani dalam The Death of Truth: Notes on Falsehood in the Age of Trump (2018) yang menyebut era sekarang sebagai post-truth (paska kebenaran), ini sesuai dengan realita klaim –klaim Khalifah yang dianggap sebagai fakta, padahal sudah kentara bahwa hal tersebut bukanlah fakta, tetapi tafsir sejarah yang dibumbui dengan legitimasi-legitimasi tak berdasar.

Masifnya pembicaraan publik ihwal film “Jejak Khilafah Nusantara” juga harus dimaknai sebagai lonceng peringatan bagi para pendengung nasionalisme di media sosial. Meskipun menurut survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ada sekitar 9,2% responden yang setuju dengan ide khilafah di Indonesia tetapi penguasaan mereka yang begitu militan akhirnya mampu membuat isu khilafah ini begitu viral dan santer.

Peristiwa ini harus menjadi ultimatum bagi masyarakat Indonesia untuk merapatkan barisan menjaga ruang publik kita, khususnya media sosial  penuh dengan narasi-narasi cinta tanah air. Para sineas juga harus memproduksi konten-konten berkualitas untuk dinikmati oleh warga yang pada akhirnya tumbuh perasaan memiliki Indonesia, Indonesia dengan Pancasilanya sebagai rumah bersama.

Keberadaan masyarakat yang masih menyetujui Pancasila sebagai dasar negara sebanyak 80% lebih, seharusnya bisa dijadikan modal untuk mencegah hal-hal yang sepele tidak bisa menjadi viral. Strategi yang dimainkan buzzer atau pendengung media sosial ini harus ditanggapi secara tangar. Menurut Jeff Stapple dari Staple Design, California, Amerika Serikat dalam penyampain pesan seorang buzzer harus aktif mengampanyekan suatu isu tertentu, serta aktif menanggapi isu yang menyudutkannya akan berhasil meraih simpati publik, dan akhirnya kemunculan film “Jejak Khilafah di Nusantara” mampu membuat pusing kelompok masyarakat yang pro-Pancasila.

Kita patut miris, karena seakan kelompok yang mayoritas seperti kita dikendalikan oleh kelompok minoritas yang berisik tersebut, kita dipaksa untuk mau tidak mau hanya sebagai peng counter isu-isu yang diproduksi mereka. Kencangkan sabuk, mungkin di lain waktu, pertarungan lebih dahsyat. Teknologi dan isu harus mampu kita kuasai, hal itu mutlak adanya.

Namun, lamat-lamat terdengar teman saya berseloroh “bisa jadi isu ini kita yang membesarkan, kita terlalu berlebihan menanggapi orang bodoh itu, toh dengan isu ini kita jadi punya ladang penghasilan baru” tapi apakah benar adanya?, semoga saja tidak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *