Beberapa hari belakangan ramai pembahasan tentang budaya lokal dan ajaran Islam. Ada sebuah postingan yang menunjukkan beberapa muslimah berjilbab dan tampak enjoy memakai atribut kebudayaan lokal, entah, mungkin dari DIY.
Ramai juga setelahnya, video seorang laki-laki yang tampak marah dengan penyelenggaraan sedekah bumi di sebuah desa di Lumajang. Laki-laki itu menghukuminya sebagai syirik, lantas ia membuang dan menendangnya.
Dua kasus berbeda dengan latar lokasi berbeda, dan masing-masing menunjukkan dua wajah religiusitas yang berbeda pula.
Budaya sebagaimana kita pahami, merupakan cara hidup yang terus berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ia tidak berdiri sendiri, budaya terbentuk dari beragam unsur, termasuk di dalamnya adalah unsur-unsur keagamaan/kepercayaan.
Kita tidak sedang membahas tentang beragam teori atau pendapat para ahli tentang kebudayaan. Saya rasa itu sudah diajarkan sejak bangku sekolah dasar.
Tapi, kita akan membahas tentang bagaimana keselarasan antara agama dan budaya di Indonesia, di tengah arus peradaban modern.
Budaya di Indonesia telah mengalami ragam transformasi. Tradisi nyadran misalnya, mulanya menurut beberapa literatur disebut sebagai tradisi penganut kepercayaan animisme-dinamisme, lalu diwarisi oleh penganut Hindu-Buddha pada masanya, dan lantas diwarisi pula oleh umat Islam hingga saat ini.
Nyadran adalah salah satu contoh transformasi di bidang tradisi-kebudayaan yang memiliki nilai-nilai kepercayaan terhadap pemujaan/Tuhan.
Begitu pula dengan sedekah bumi, yang dipermasalahkan pada kasus kedua. Tradisi ini juga berasal dari kepercayaan animisme-dinamisme, yang lantas turun menurun diwariskan, hingga sampai pada anak cucu yang beragama Islam.
Tradisi ini tidak lantas diberangus karena dianggap tak selaras dengan nilai-nilai keislaman. Masyarakat Islam di beberapa daerah malah menganggapnya sebagai sebuah representasi rasa syukur mereka terhadap kehadiran Tuhan dengan karunia-Nya yang amat menakjubkan.
Sedekah bumi sering juga memiliki pesan implisit berupa permohonan/doa supaya daerah tersebut terhindar dari berbagai macam malapetaka dan marabahaya. Tentunya doa ini tidak disampaikan kepada pohon-pohon besar (beringin misalnya), gundukan tanah kosong, air, api, ataupun yang lain. Tapi pada Ia, Sang Penguasa Alam Semesta.
Semua yang mereka persembahkan: sesajen, gunungan, dan aneka hasil bumi lainnya adalah sebagai sarana, bukan tujuan.
Perlu diakui, nilai-nilai religius saat ini telah mendominasi di berbagai sektor kehidupan. Termasuk di bidang kebudayaan.
Pada kasus pertama, agama -yang ia pahami- tampak anggun dan luwes dipadukan dengan budaya. Keduanya saling klop, meskipun beberapa orang mengatakan hal itu merusak pakem dan estetika dari kebudayaan itu sendiri.
Orang-orang yang terganggu dengan fenomena ini, sebutlah namanya sebagai kelompok Jawaisme puritan, kalau saya boleh mengutip dari tulisan Gus Rijal Mumazziq. Mereka ini adalah antitesa dari Islam Puritan, apa-apa saja yang berbau Arab dab Islam ditolak, dianggap sebagai bentuk kemunduran bahkan kemudian dikaitkan dengan bentuk pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda.
Sedangkan di kasus kedua, jelas bagaimana agama -yang ia pahami- sangat kontras dengan kebudayaan. Pemahaman agama yang direpresentasikan oleh pria di kasus kedua, sangat ganas dan sangat serampangan. Seolah-olah agama adalah satu hal dan kebudayaan adalah hal lain yang keduanya tidak bisa saling dipertemukan.
Padahal, Walisongo -jika mungkin Anda percaya- telah membuktikan bahwa agama dan budaya bisa berjalan beriringan dan saling menguntungkan. Budaya bisa menjadi sarana dakwah agama, dan agama bisa memperkuat nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kebudayaan.
Dan melalui pendekatan budaya ala Walisongo, ribuan orang -bahkan mungkin lebih- telah diislamkan. Hal itu tentu saja menjadi penyumbang terbesar jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia yang bertahan hingga saat ini.
Orang-orang yang sama pendapatnya dengan pria itu disebut sebagai kaum Islam Puritan, mereka antipati terhadap kebudayaan lokal yang menurut mereka serba syirik, dan bid’ah. Mereka didominasi oleh penganut aliran salafy-wahabbi.
Keberadaan dua kelompok di atas tadi sama bahayanya, keduanya sama-sama kaku, saling menaruh curiga, bahkan terkadang cenderung rasis dan xenophobia. Ini tentu tak baik buat Indonesia yang beragam dan keragaman itu sebagian telah berakulturasi dengan kebudayaan lain, ada yang berakulturasi dengan kebudayaan Tiongkok, Arab, juga negara-negara lain.
Kini saya mau bercerita sesuatu tentang desa saya. Di tempat saya tinggal ini, di sebuah kampung di Borobudur, ada satu kesenian tradisional yang khas bernama Kubro Siswo “Madya Siswa”. Sebenarnya di tiap desa punya masing-masing 1 kesenian.
Seingat saya waktu masih kecil -mungkin sekitar usia 9 tahun atau tahun 2009- kesenian Madya Siswa ini didominasi oleh kaum remaja. Mulanya, mereka berlatih hingga pentas dengan memakai atribut bebas dan terbuka. Batasannya hanya norma kesopanan. Artinya, tidak ada jilbab, berpakaian pun tak masalah jika ada yang sedikit ketat. Saat itu, jilbab belum se-ngetrend sekarang.
Tidak ada yang mempermasalahkan atau mengomentari apapun tentangnya. Karena orang-orang saat itu mungkin berpikir, disitulah letak nilai estetika dari kesenian Madya Siswa.
Namun lain hal dengan yang terjadi sekarang. Saya melihat pemain perempuan pada kesenian ini seluruhnya berjilbab dan berpakaian longgar. Pun, tak ada dandanan yang menor di wajah mereka, hanya lukis tipis saja. Tak ada masalah sebenarnya.
Saat ini perlu kita akui bahwa telah terjadi pergeseran nilai. Dalam kasus ini, nilai estetika tergeser oleh nilai etika. Di mana nilai etika sendiri telah banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai religiusitas.
Beberapa perempuan muslim tentu bersikeras ingin menampakkan identitas keislamannya dengan memakai jilbab. Tapi ia tak masalah dengan keberadaan budaya atau tradisi di sekitarnya, selama itu tak memaksa dia untuk mengubah keyakinannya atas kebenaran suatu agama. Maka terjadilah kasus pertama. Perempuan berjilbab mengikuti parade budaya.
Saat ini dan ke depan, tantangan kita bukanlah tentang bagaimana mengembalikan eksistensi budaya persis seperti dahulu kala. Tapi tantangan kita adalah muda-mudi yang acuh terhadap budayanya sendiri. Bukan semata-mata acuh karena menganggap ia bertentangan dengan agama, tapi acuh karena menganggap budaya memang sudah tidak relevan untuk diperjuangkan.
Tak masalah tentang bagaimana cara ia berpakaian, apakah berjilbab, bercadar mungkin? Atau seketat apa pakaiannya, dan apapun itu. Adalah sebuah kemajuan jika ia ingin mengambil andil dalam perjuangan besar untuk nguri-uri dan ngurip-urip kebudayaan lokal.
Sepantasnya kita menerima mereka karena niat, konsistensi, dan keselarasan nilai-nilai yang sedang diperjuangkan bersama. Bukan pada pakaian atau bahkan keyakinan.
Karena sekali lagi, kebudayaan itu terus berkembang. Tergantung apa dan bagaimana kita menyikapinya.