News  

Fungsi Ulama Seperti Nabi, KH. Muzakki Cholis: Tidak Ada Batasan Periode Jabatan Ketum PBNU

Jakarta, Liber Times–Perdebatan Muktamar soal periodesasi masa jabatan ketua umum PBNU sampai hari ini tidak selesai, tidak ada ujungnya karena pangkalnya tidak jelas. NU tidak memiliki tradisi periodesasi dalam batasan tahun masa jabatan.

Hal itu diketahui dari Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama hasil Muktamar ke-33. Seperti yang diungkap Wakil Katib PWNU DKI Kiai Muzakki Cholis, tidak ada pasal dalam AD/ART yang membatasi masa jabatan ketua umum PBNU.

Pembatasan masa jabatan hanya berlaku bagi kepengurusan mustasyar, syuriyah, dan tanfidziyah. Masa jabatan kepengurusan berbeda-beda di setiap tingkatan.

“Masa khidmat kepengurusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 adalah lima tahun dalam satu periode di semua tingkatan, kecuali pengurus cabang istimewa selama 2 (dua) tahun,” bunyi Pasal 16 ayat (1) Anggaran Dasar NU.

AD/ART NU hanya mengatur mekanisme pemilihan ketua umum. Pemilihan dilakukan lewat muktamar dengan melibatkan seluruh muktamirin.

“Ketua umum dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar, dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapat persetujuan dari rais ‘aam terpilih,” bunyi pasal 40 ayat (1) huruf e Anggaran Dasar NU.

Ketua umum bersama rais ‘aam, wakil rais ‘aam, dan wakil ketua umum kemudian menentukan susunan pengurus syuriyah dan tanfidziyah. Mereka dibantu sejumlah formatur yang mewakili wilayah Indonesia barat, tengah, dan timur.

“Jadi tidak ada batasan periodik dalam jabatan ketua Umum PBNU dan juga Rais ‘Aam PBNU. Semua aturan dalam AD/ART adalah hasil dari ijtihad para alim ulama bahwa membangun suatu peradaban itu membutuhkan durasi waktu yang sangat panjang” ucap Cholis yang sering disapa Kiai Cholis kepada media (18/12).

Kiai Cholis juga menjelaskan tentang fungsi Ulama sama seperti fungsi kenabian, tugas ulama sama seperti tugasnya Nabi, tidak memiliki batas tugas yang akhirnya pensiun.

“Ulama itu pewaris para Nabi, tugas ulama tidak bisa dibatasi. Karena NU adalah organisasi Ulama, maka tidak perlu dibatasi dengan periode. Selagi beliau masih dibutuhkan Siapapun itu orangnya jika masih dibutuh tidak usah diganti.” Lanjutnya.

Hal ini merujuk pada data para ulama yang pernah menjabat sebagai Rais ‘aam juga ketua Umum PBNU, dalam perjalanan sejarah tidak ada batasan periodik pada kedua jabatan tersebut.

“Jika kita mengacu pada tradisi ulama NU, dalam catatan sejarahnya. Maka kita tidak akan menemukan batasan periodik, KH. Hasyim Asy’ari menjabat Rais Akbar 1926-1947 dengan pergantian tanfidz sebanyak 4 kali, KH. Wahhab Hasbullah menjabat Rais Aam 1947-1962 dengan pergantian tanfidz 4 kali, dilanjutkan KH. Bisri Syansuri 1971-1979 dengan ketua Umum Idham Chalid yang menjabat juga di era KH. Wahhab Chasbullah, dilanjut KH. Ahmad Shiddiq 1984-1989 terus KH. Ilyas Ruchyat 1989-1999 dua Rais Aam ini berada pada era Gus Dur, selanjutnya seperti itu juga dilanjutkan KH. Sahal Mahfudz di era Hasyim Muzadi, Gus Mus, KH. Ma’ruf Amin, dan PJ Rais Aam KH. Miftachul Akhyar di era Said Aqil, batasan periodik ini tidak berlaku, karena Ulama yang terpilih selalu menyesuaikan dengan kondisi zamannya, maka jika dilihat lagi tidak ada batasan/periode pasti dalam masa jabatan Rais Aam dan ketua umum tanfidziah” tegasnya.

Regenerasi Ulama dalam tubuh NU bagi Kiai Cholis bukanlah untuk mengisi kekosongan jabatan, regenerasi ulama adalah regenerasi kefaqihan dan kealiman.

“Regenerasi di NU untuk mengkader banyak warganya tidak semua diperuntukkan agar menjadi pengurus NU, kalau semua orang berkejar-kejaran untuk menjadi pengurus NU karena sudah ikut PKPNU, MKNU, maka NU bukan lagi menjadi pengabdian tapi menjadi karir, padal di NU tidak ada karir, semuanya harus murni pengabdian” tutupnya. (LTimes/Rikal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *