Kritik Nusron Wahid Soal Tanah Nganggur, Poniman Sutowidjojo: Potensi Konflik Agraria Menganga

Jakarta, LiberTimes — Pengamat Politik dan Intelijen, Poniman Sutowidjojo, melontarkan kritik tajam terhadap pernyataan dan kebijakan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang memastikan lahan nganggur akan diambil alih negara jika tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu hampir dua tahun.

Poniman menilai, kebijakan ini secara prinsip memang selaras dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, namun berpotensi mengabaikan jaminan konstitusional warga negara atas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D.

“Menafsirkan dikuasai negara bukan berarti bebas mengambil tanah rakyat seenaknya. Harus ada mekanisme keberatan yang transparan dan proses hukum yang fair sebelum negara menyatakan tanah itu telantar,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa definisi “tanah telantar” yang hanya didasarkan pada periode 587 hari tanpa pemanfaatan bersifat terlalu simplistis. Banyak pemilik lahan yang sedang menunggu modal, musim tanam yang tepat, atau harga pasar yang stabil.

“Petani kecil atau pemilik lahan warisan bisa jadi kehilangan aset turun-temurun hanya karena tidak mampu menggarap sementara. Itu bukan telantar, tapi keterbatasan ekonomi,” ujarnya.

Poniman juga menyoroti rencana pemerintah mengalihkan tanah telantar ke organisasi besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, atau PUI. Menurutnya, langkah ini berpotensi memunculkan kesan politis dan balas budi, serta mengabaikan kelompok-kelompok kecil seperti koperasi petani atau komunitas adat.

“Distribusi harus berbasis kebutuhan rakyat banyak, bukan sekadar ke lembaga besar yang punya akses politik. Kalau tidak hati-hati, ini bisa memicu gelombang konflik agraria baru,” tambahnya.

Lebih lanjut, Poniman menilai pernyataan retoris Nusron Wahid, “Emang mbahmu bisa membuat tanah?”, tidak tepat disampaikan oleh pejabat publik.

“Bahasa seperti itu terkesan merendahkan dan memancing resistensi publik. Kebijakan sensitif seperti agraria memerlukan komunikasi yang menghormati martabat masyarakat,” tutup Poniman.

Dengan berbagai catatan tersebut, Poniman mendesak pemerintah untuk memperjelas parameter “telantar”, memperkuat perlindungan hukum bagi pemilik lahan, dan memastikan distribusi hasil pengambilalihan benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

Exit mobile version