Opini  

Pemisahan Pemilu Nasional-Daerah: Antara Netralitas, MK dan Arah Reformasi Demokrasi

Oleh Nafi’atul Ummah

Presidium Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXI/2024 pada 26 Juni 2025 menjadi titik balik penting dalam desain kelembagaan demokrasi Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah tidak harus diselenggarakan secara serentak.


Pemilu nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD dipisahkan pelaksanaannya dari pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, dan Bupati/Wali Kota. Dalam amar putusan, MK menetapkan bahwa “pemilu lokal diselenggarakan setelah pemilu nasional, dengan jeda paling singkat dua tahun atau paling lama dua setengah tahun”.

Putusan ini menimbulkan berbagai konsekuensi hukum, politik, dan administratif. Dampaknya tidak kecil. Ia bukan sekadar pergeseran teknis jadwal, tapi menyentuh jantung arsitektur demokrasi yang mencakup netralitas birokrasi, distribusi kekuasaan pusat-daerah, dan bahkan batas-batas kekuasaan yudikatif.

PLT Kepala Daerah dan Krisis Netralitas Pilkada
Implikasi paling nyata dari pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal adalah kekosongan kekuasaan di tingkat daerah. Dampaknya pemerintah pusat akan menunjuk pejabat kepala daerah sementara (PLT) dari unsur birokrasi. Dalam konteks ini, netralitas birokrasi dan akuntabilitas kekuasaan lokal menghadapi ujian serius.

Dalam perspektif teori administrasi publik, Dwight Waldo dan Woodrow Wilson menekankan pentingnya pemisahan fungsi administratif dan politik dalam pemerintahan yang demokratis. Birokrasi, dalam kerangka ini, harus netral dan profesional, tidak menjadi alat politik kekuasaan. Namun dalam praktiknya, pengangkatan PLT yang tidak melalui pemilihan langsung justru membuka celah bagi politisasi birokrasi. Karena PLT diangkat oleh pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri), loyalitas mereka cenderung vertikal, bukan kepada rakyat daerah.

Lebih jauh, prinsip akuntabilitas politik seperti diuraikan oleh Mark Bovens ilmuwan politik dan hukum dari Belanda, menunjukkan bahwa setiap pemegang kekuasaan publik wajib dipertanggungjawabkan secara publik dan institusional.

Namun bagaimana bentuk akuntabilitas PLT yang tidak memiliki basis elektoral? Ketika mereka mengambil kebijakan strategis atau bahkan berpihak dalam kontestasi politik lokal, rakyat tidak memiliki mekanisme langsung untuk mengoreksi atau mencabut mandat mereka. Ini menciptakan semacam kekosongan legitimasi yang rawan disalahgunakan.

Hal ini bukan kekhawatiran dari asumsi kosong. Data Bawaslu mencatat bahwa pada Pilkada 2017 dan 2020, terjadi ratusan pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pejabat sementara. Di Pilkada 2020, misalnya, Bawaslu menemukan setidaknya 827 pelanggaran netralitas ASN. Fenomena ini diperparah oleh lemahnya sanksi administratif dan sulitnya penegakan hukum bagi PLT yang terlibat politik praktis.

Situasi ini menggambarkan betapa rentannya sistem demokrasi lokal jika tidak ditopang oleh kerangka hukum dan institusi yang akuntabel. PLT, meski sementara, menjalankan fungsi kepala daerah secara penuh. Termasuk dalam pengelolaan anggaran, rotasi jabatan, dan pengambilan kebijakan strategis. Maka pertanyaan mendasarnya, dapatkah demokrasi lokal dipertahankan jika kekuasaan lokal tidak berbasis legitimasi rakyat?

Mahkamah Konstitusi dan Reformasi Sistem Pemilu: Terobosan atau Polemik?
Dampak lainnya dari putusan MK ini adalah perdebatan mendalam soal posisi dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan. Dalam teori kekuasaan yudisial dan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) ala Montesquieu, peran lembaga yudikatif adalah menafsirkan hukum, bukan membuatnya. Namun, dengan memutus untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah, MK seolah mengambil peran legislator, menciptakan norma baru yang belum dibentuk oleh pembuat undang-undang.

Langkah MK ini banyak dikritik sebagai bentuk judicial activism yang melampaui batas. Ronald Dworkin memang pernah membela judicial activism sebagai bentuk keberanian hakim untuk memperbaiki sistem hukum yang tidak adil atau stagnan. Namun bahkan dalam kerangka Dworkin, judicial activism tetap harus tunduk pada prinsip checks and balances, bukan justru mengacaukan harmoni antar cabang kekuasaan.

Prof. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara UGM, mengingatkan bahwa putusan MK ini tidak hanya menciptakan tafsir atas pasal, tapi justru membentuk struktur politik baru. Dalam wawancaranya dengan berbagai media, ia menyebut putusan ini “membingungkan secara logika hukum dan membingungkan secara teknis pelaksanaan.” Hal senada juga disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya. Ia menegaskan bahwa perubahan sistem pemilu seharusnya menjadi domain legislatif, bukan kehakiman.

Lebih dari sekadar debat legal-formal, putusan ini membuka pertanyaan tentang masa depan reformasi sistem pemilu. Jika dipahami secara progresif, pemisahan pemilu nasional dan daerah sebenarnya dapat menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi lokal. Dengan jadwal yang tidak tumpang tindih, publik memiliki ruang lebih besar untuk memahami visi dan rekam jejak kandidat lokal tanpa terdistraksi oleh hiruk-pikuk pemilu nasional.

Pemisahan ini juga berpotensi mendorong profesionalisasi penyelenggara pemilu, karena beban kerja KPU dan Bawaslu bisa lebih tersebar dan terfokus. Partisipasi masyarakat di tingkat lokal pun bisa meningkat, karena isu-isu daerah mendapat panggung tersendiri.

Namun di sisi lain, jika tidak diiringi dengan regulasi turunan yang memadai, pemisahan ini justru bisa menimbulkan kekacauan. Hingga kini, belum ada kepastian hukum tentang mekanisme penunjukan PLT, kewenangan yang boleh dijalankan selama masa transisi, hingga batasan anggaran yang dapat digunakan. Tanpa kejelasan itu, kita berisiko masuk ke dalam situasi “vakum hukum” yang dimanfaatkan oleh elite untuk kepentingan politik.

Intermezzo Historis: Gagasan Lama, Problem Baru
Menariknya, gagasan memisahkan pemilu nasional dan daerah bukan barang baru. Pasca-Reformasi 1998, sejumlah akademisi dan anggota DPR pernah mengusulkan hal serupa demi efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu. Namun ide itu gagal dieksekusi karena pertimbangan teknis dan politis, termasuk kekhawatiran akan tingginya biaya politik dan ancaman voter fatigue (kejenuhan pemilih).
Setelah dua dekade, gagasan lama ini dihidupkan kembali, tetapi dengan jalur yang tak biasa.

Maksudnya, bukan melalui legislatif tetapi malah lewat putusan yudikatif. Ironisnya, proses yang semestinya demokratis dan deliberatif itu kini ditentukan oleh segelintir hakim konstitusi yang tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Di sinilah problem etis dari judicial activism dalam konteks negara pasca-otoriter. Yakni ketika upaya reformasi justru melewati jalur non-demokratis.

Putusan MK tersebut memang membuka babak baru dalam diskursus sistem pemilu kita. Namun reformasi demokrasi tidak bisa direduksi sekadar pada penyesuaian jadwal, melainkan harus dimaknai sebagai momentum untuk menegakkan keadilan elektoral, menjamin netralitas birokrasi, dan memastikan akuntabilitas kekuasaan.

Pemisahan pemilu semestinya menjadi peluang untuk memperkuat sistem keterwakilan, bukan dalih untuk mempertahankan kekuasaan tanpa legitimasi. Dalam kerangka ini, pemerintah dan DPR memikul tanggung jawab moral dan politik untuk segera menyusun regulasi turunan yang menjamin mekanisme seleksi PLT secara transparan dan akuntabel.

Tanpa langkah korektif tersebut, kita hanya akan mengganti kerumitan teknis dengan kekacauan politis. Demokrasi tidak bisa hanya diukur dari keberlangsungan pemilu, melainkan dari sejauh mana kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan untuk rakyat, dan dapat dikoreksi oleh rakyat. Maka, setiap langkah reformasi termasuk oleh Mahkamah Konstitusi harus berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi sejati, yakni keterwakilan, akuntabilitas, dan keadilan.

Exit mobile version