Anjloknya Nilai Tawar Politik PBNU, setelah cawe-cawe Raja Jawa

Jakarta, LiberTimes–Jika memperhatikan podcast Akbar Faisal dengan Buya Said, pokok pembahasan yang menarik banyak pihak adalah relasi NU dan pemerintah, meski tema besarnya soal radikalisme dan ekstremisme Islam.

Tidak banyak yang tahu bahwa membahas Muktamar NU 2021 adalah hal yang paling dihindari Buya Said. Terlihat jelas bagaimana Kiai Said menghindari mengomentari Ketua Umum PBNU secara langsung atau personal. Namun, karena pertanyaan Bang Akbar berkaitan dengan intervensi rezim pada muktamar, semuanya kini terbuka.

Jika kembali ke belakang, tidak banyak yang tahu bahwa pasca muktamar dan era pemecatan gradual pada periode Gus Yahya menjelang Pilpres 2024, banyak tokoh yang berharap Kiai Said bersuara lebih lantang. Hanya saja, beliau memang memilih untuk tidak banyak membahas hal tersebut.

Diakui sendiri oleh Gus Yahya bahwa pada masa kepemimpinannya, PBNU ditinggalkan oleh para kiai. Selain banyak yang telah wafat, karakteristik khas kiai dalam gerak organisasi juga tidak begitu dominan.

Bahkan, nuansa ini mencapai titik nadir dalam sebuah acara ketika Gus Ipul menyampaikan sambutan sambil menyindir Gus Baha (yang berada di panggung) karena jarang menghadiri rapat PBNU. Sindiran ini ditanggapi serius oleh Gus Baha—baru kali ini saya melihat Gus Baha begitu serius—dengan analogi petani dan diskusi ketahanan pangan.

Menurut Gus Baha, mengajar/mengaji itu seperti petani yang bekerja langsung di sawah, sementara rapat organisasi seperti diskusi tentang ketahanan pangan. Maka, yang benar-benar menjaga ketahanan pangan adalah mereka yang terus mengajar dan mengaji.

Situasi ini divalidasi oleh pernyataan Kiai Ma’ruf Amin yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia menyebut bahwa bagi para kiai, ketumnya masih Kiai Said. Kelakar ini tidak bisa dianggap sepele mengingat beliau saat itu adalah Wakil Presiden. Gus Yahya pun pernah menyinggung pernyataan Kiai Ma’ruf dalam sebuah sambutan sebagai bentuk tanggapan.

Transisi dari Buya Said ke Gus Yahya memang tidak mudah. Banyak pihak berharap Gus Yahya bisa sekritis Buya Said. Jika kita bayangkan, seharusnya ada banyak sekali isu sosial yang bisa disikapi oleh PBNU hari ini, tetapi kenyataannya tidak dilakukan.

Orang-orang membayangkan jika Kiai Said masih menjadi Ketum PBNU, pasti komentarnya akan keras. Contoh yang paling terkenal adalah penolakan terhadap Omnibus Law. Sensitivitas NU terhadap isu sosial inilah yang banyak dirindukan.

Menurut saya, inilah sosok orisinal Kiai Said yang menempatkan diri sebagai Ketua PBNU sekaligus sebagai intelektual yang kuat secara personal. Banyak yang lupa bahwa sebelum dianggap sebagai kiai dan Ketum PBNU, Buya Said adalah seorang kritikus sosial yang opininya sering terbit di media massa.

Meskipun telah mencapai puncak karier di NU, gaya kritis intelektualnya tidak hilang. Inilah yang membuat karier politik beliau tidak terlalu bagus, dan beliau sendiri mengakui, “Saya tidak cocok jadi politisi.”

Karena daya intelektualnya, beliau tetap ingin mengeluarkan kritik tanpa pertimbangan politik yang matang—singkatnya, tidak masalah jika pendapatnya tidak populis.

Namun, ini bukan tanpa tantangan. Sejak mencanangkan tema Islam Nusantara pada 2015, ide ini mendapatkan tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Yang paling terasa tentu dari kelompok Islam modernis. Ini berkaitan dengan tensi politik Islam yang mencapai puncaknya menjelang tahun 2017, terutama pada Aksi 212. Meskipun saat Pilpres 2024, dukungan Kiai Said pada pasangan Amin membuat persinggungan ini menjadi lebih cair.

Yang dikhawatirkan banyak pihak adalah dampak kedekatan PBNU dengan rezim. Ini bertentangan dengan janji kampanye Gus Yahya saat muktamar, yang menyatakan bahwa PBNU tidak akan terlibat dalam dukung-mendukung Pilpres 2024. Bahkan, ditegaskan bahwa tidak ada capres/cawapres dari PBNU untuk Pilpres 2024.

Namun dalam praktiknya, hampir seluruh pimpinan PBNU sangat terlibat dalam Pilpres 2024. Sebagai perbandingan, pada era Buya Said, NU mendorong Kiai Ma’ruf Amin menjadi Wakil Presiden. Sementara pada era Gus Yahya, PBNU tidak mendorong kader/pengurusnya menjadi capres/cawapres, melainkan justru mendukung “orang lain.” Ini mungkin konsisten, tetapi konsistensi yang kurang baik.

Situasi ini semakin paradoks dan jenaka. Menjelang Pilpres 2024, Erick Thohir seolah-olah menjadi “anak emas” yang memegang kartu PBNU. Ini terlihat dari banyaknya baliho Erick Thohir menuju Pilpres 2024 yang menampilkan logo NU. Terutama karena beliau adalah Ketua Panitia Harlah Seabad NU—sebuah acara yang dikeluhkan lebih mengutamakan tamu pejabat daripada para ulama. Kisah ini kemudian ditutup dengan permintaan maaf dari Gus Yahya.

Entah apa motifnya, di tengah perjalanan organisasi, Erick Thohir terpilih menjadi Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, yang notabene merupakan lembaga kajian dan riset.

Keputusan ini menjadi bahan lelucon di kalangan intelektual NU karena keterpilihannya dinilai tidak nyambung. Hingga muncul anekdot, “Pelatih Timnas Sepak Bola Indonesia dipecat oleh Ketua Lakpesdam PBNU.” Saking paradoksnya, ada yang berkelakar, “Mestinya ada kajian fikih tentang kenapa Shin Tae-yong dipecat oleh Ketua Lakpesdam PBNU.”

Alih-alih tidak ada capres/cawapres dari NU pada Pilpres 2024, banyak pihak menilai ini sebagai upaya menjegal pencalonan Cak Imin. Namun, dengan segala daya upaya, Cak Imin tetap bisa menjadi calon wakil presiden bersama Anies Baswedan.

Puncaknya, muncul ketegangan antara PBNU dan PKB. Memang, setelah Muktamar, upaya “bersih-bersih” PKB dari PBNU semakin menguat. Pertanyaannya, ini permintaan siapa?

Efeknya, pengurus yang terlalu dekat dengan PKB dan dianggap berpolitik praktis melalui posisinya dalam struktur organisasi menerima surat peringatan hingga pemecatan. Dalam sebuah haul, beberapa tokoh yang dipecat bercanda untuk memastikan siapa saja di antara mereka yang sudah “wasalam.” Dark jokes.

Artinya, dapat diduga bahwa derajat bargaining PBNU dalam politik sebenarnya menurun. Jika pada era Kiai Said NU bisa mengirimkan kadernya menjadi Wakil Presiden, kini PBNU hanya bisa mengamankan agenda Pilpres demi orang lain. Oleh sebab itu, PBNU terlihat sangat sibuk memagari NU dari PKB, sementara medan politik NU justru dipagari dari luar.

Masalahnya, tidak ada bukti bahwa hal ini menurunkan suara PKB. Justru, suara PKB naik pada Pemilu 2024.

Melihat situasi ini, mudah membayangkan bahwa daya tawar organisasi semakin mengecil karena tidak berhasil menjegal Cak Imin secara efektif, yang kini justru tetap eksis di rezim saat ini.

Lalu bagaimana jika PBNU ingin mengembalikan daya tawar politiknya? Tentu ini soal menghormati proses. Minimal, ada proses berpikir yang disajikan kepada publik—seperti melakukan kajian atau mengutarakan kritik, sekecil apa pun.

Hal ini terjadi pada era Buya Said. Meskipun pada akhirnya cenderung bernegosiasi dengan pemerintah, Buya Said tetap menunjukkan bahwa kritik terhadap kebijakan tetap perlu diajukan agar komunikasi dengan penguasa menjadi lebih setara.

Saat ini, sikap kritis PBNU lebih sering diambil alih oleh Gus Ulil lewat opini-opininya. Namun, berapa kali pun beliau melakukannya, common sense masyarakat tetap tidak terobati.

Pertanyaannya, Gus men (yaqut) apa kabar ya?

Jakarta, 2 April 2025
Iman Zanatul Haeri

Exit mobile version