Jejak Riza Chalid: Skandal Migas, Perlindungan Politik, dan Ancaman Gempa Kekuasaan
Dilaporkan oleh: Counterpart Whitewood Center (Malaysia–Singapore), Jaringan Investigatif Paijo Parikesit
Johor – Singapura – Jakarta | 22 Juli 2025
Riza Chalid, pengusaha minyak yang selama ini dikenal sebagai “saudagar minyak”, kembali menjadi perhatian publik setelah Kejaksaan Agung Republik Indonesia menetapkannya sebagai tersangka utama dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina periode 2018–2023, dengan total dugaan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Namun, laporan eksklusif yang dihimpun oleh Counterpart Whitewood Center di Malaysia dan Singapura — bagian dari jaringan investigatif Paijo Parikesit — mengungkap fakta-fakta yang jauh lebih kompleks: upaya pelarian, negosiasi penyelamatan hukum, dan lobi politik di level tertinggi.
Perlindungan Diam-diam di Johor Bahru
Investigasi lapangan mengonfirmasi bahwa Riza Chalid telah menetap secara permanen sejak delapan bulan lalu di kawasan elit Medini Residences 01, tidak jauh dari Legoland, Johor Bahru, Malaysia. Aktivitasnya juga terlacak di zona bisnis DayOne Nusajaya Tech Park, tepatnya di Jalan Teknologi Perintis No. 3, Taman Teknologi Nusajaya, Iskandar Puteri, Johor Darul Ta’zim.
Sumber-sumber kami dari Counterpart Whitewood Center di Malaysia menyebutkan bahwa Riza beroperasi dengan identitas perlindungan terbatas, berkoordinasi melalui jaringan bisnis dan hukum lintas negara yang memiliki koneksi politik kuat di Indonesia.
Pertemuan Tertutup di Singapura
Pada 2 Juli 2025, Riza Chalid dilaporkan melakukan dua kali pertemuan rahasia di Singapura. Ia ditemani oleh Fadel A Rafiq, tokoh partai besar yang dikenal punya kedekatan dengan lingkaran Presiden Prabowo Subianto, serta seorang pejabat tinggi dari lembaga penegak hukum Indonesia.
Pertemuan pertama berlangsung di One Raffles Place Tower 1, #56-00, 1 Raffles Place, kemudian dilanjutkan di Kim Seng Promenade, #15-01, Singapore 237994.
Agenda utama dari pertemuan tersebut adalah negosiasi terkait rencana pengampunan terbatas kepada koruptor yang bersedia mengembalikan hasil kejahatannya kepada negara, sebagaimana wacana yang disebut-sebut akan menjadi program awal pemerintahan Presiden Prabowo.
Transaksi Gagal, Tekanan Politik Dimulai
Riza Chalid diminta mengembalikan dana sebesar USD 149 juta ke rekening yang telah disepakati, dengan imbalan agar namanya tidak diumumkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Namun hingga tenggat waktu 6 Juli 2025, dana tersebut tidak ditransfer.
Sebaliknya, Riza hanya menawarkan USD 50 juta, dengan dalih bahwa dirinya selama ini telah mendistribusikan dana ke hampir seluruh elite politik lintas partai, pejabat tinggi negara, serta petinggi aparat keamanan dan hukum.
Melalui penghubungnya, Rafik, Riza bahkan menyampaikan tuntutan ekstrem: agar Jaksa Agung dicopot dan diganti dengan Jaksa Agung Muda pilihannya. Jampidsus juga diminta dicopot. Jika tidak, ia mengancam akan membuka semua data aliran dana ilegal ke publik.
Ancaman Gempa Politik
Ancaman dari Riza bukan omong kosong. Counterpart Whitewood Center menerima informasi bahwa Riza menyimpan dokumen-dokumen dan rekaman yang dapat membongkar seluruh jejaring korupsi elite nasional, termasuk aliran dana ke partai-partai besar, aktor hukum, hingga penyelenggara pemilu.
Dampaknya bisa sangat besar. Bila benar data itu diungkap, bukan hanya kasus ini yang akan mengguncang, tapi bisa memicu krisis legitimasi politik nasional.
Isyarat dari Istana
Dalam pidatonya di Kongres Nasional PSI, Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan yang dinilai sebagai respons atas situasi ini. Ia mengatakan:
“Koruptor membiayai demo-demo besar. Mereka ingin Indonesia gelap, penuh kekacauan, agar mereka bisa selamat dari hukum.”
Sumber internal menyebut bahwa pernyataan itu diarahkan pada sejumlah figur yang kini terlibat dalam lobi politik bawah tanah, termasuk Riza Chalid, yang disebut-sebut menjadi donatur utama bagi jaringan aksi-aksi politik yang mengancam stabilitas pemerintah.
Hukum vs Kekuasaan
Kasus Riza Chalid kini bukan lagi soal korupsi teknis, tapi telah menjadi pertempuran antara supremasi hukum dan kekuatan politik tertutup. Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil kini dihadapkan pada ujian integritas paling serius dalam dua dekade terakhir.
Jika hukum tegak lurus, skandal ini bisa jadi momen bersih-bersih terbesar dalam sejarah migas nasional. Namun jika dibiarkan berlalu atau dinegosiasikan di balik layar, maka kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepemimpinan nasional akan runtuh.
Dilaporkan oleh:
🕵️ Tim Counterpart Whitewood Center (Malaysia & Singapura)
🎯 Jaringan Investigatif Independen Paijo Parikesit
📍 Johor – Singapura – Jakarta | 22 Juli 2025