Meneladani Kembali Sosok Ki Hajar Dewantara

Sumber: kompas.com

Jakarta, Liber Times – Sejak 28 November 1959, Presiden Soekarno resmi menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959.

Pemilihan tanggal Hardiknas ini tak lain ialah untuk memperingati hari lahirnya Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang kini lebih dikenal banyak orang dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Ada alasan kuat mengapa Soekarno memilih hari lahir Ki Hajar Dewantara sebagai tanggal Hardiknas. Salah satu alasannya ialah Ki Hajar Dewantara bisa dikatakan sebagai “bapak” atau pelopor pendidikan bagi kaum pada masa kolonial.

Meskipun kebijakan Politik Etis sudah diterapkan pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1901 yang salah satu kebijakannya memberikan pendidikan terhadap rakyat di tanah jajahan, namun penerapannya semata-mata hanya demi kepentingan pemerintah jajahan.

Kebijakan pendidikan saat itu hanya menyentuh pejabat kolonial dan pribumi kalangan atas (priyayi) saja sehingga sangat jarang masyarakat pribumi kelas bawah mendapat manfaat dari adanya Politik Etis.

Keadaan ini membuat Ki Hajar Dewantara tergerak untuk membuat sebuah Taman Siswa atau Perguruan Taman Siswa yang bertujuan memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan yang setara seperti halnya para priayi maupun orang-orang Belanda.

Pada 3 Juli 1922 secara resmi Taman Siswa lahir dan menjadi lokomotif pendidikan Indonesia yang kita tiru hingga saat ini.

Lahirnya Taman Siswa juga tak lepas dari riwayat pendidikan Ki Hajar Dewantara yang merupakan lulusan Europeesche Lagere School. Statusnya sebagai pangeran Kadipaten Pakualaman Yogyakarta, kerajaan pecahan Wangsa Mataram di samping Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran membuat ia berhak secara otomatis merasakan manfaat adanya kebijakan Politik Etis.

Meski begitu pria dengan nama kecil Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini sangat senang bergaul dengan masyarakat pribumi tanpa membeda-bedakan statusnya.

Sehingga wajar meski mendapat pendidikan ala barat namun dengan melihat kondisi realitas masyarakat pribumi saat itu membuat ia sangat ingin memajukan pendidikan kaum pribumi.

Sebelum mendirikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara juga sempat aktif menjadi wartawan dan pernah menulis sebuah tulisan dengan judul “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang berisi mengenai kritik terhadap pendidikan di Indonesia.Karena kritik itulah akhirnya sempat membuat Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, beliau diangkat menjadi menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Serta mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada pada 1957.

Salah satu semboyan yang sangat dikenal banyak masyarakat kita ialah “tut wuri handayani”. Semboyan tersebut dibuat oleh Ki Hajar Dewantara saat mendirikan Taman Siswa dan selalu diterapkan olehnya dalam setiap pengajaran yang diberikan.

Dalam bahasa Jawa, semboyan itu secara utuh berbunyi “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang memiliki arti “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”. Hingga wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan pada tanggal 29 April 1959 di Taman Wijaya Brata, jasa-jasa Ki Hajar Dewantara mesti terus kita kenang sebagai generasi penerus bangsa ini.

Yang mendidik lakukanlah tugasnya dengan sebaik mungkin serta yang di didik mesti mampu mengamalkan ilmunya dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.

Exit mobile version