Opini  

Sekelumit Problematika Pengangkatan Caretaker (Penjabat) Kepala Daerah.

Oleh :
Ahmad Zaki (Direktur Eksekutif Citra Network National)

Jakarta, LiberTimes – Baru baru ini pengangkatan dan penunjukan “Caretaker” atau yang disebut Penjabat banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan. Dari masyarakat kalangan bawah, sampai dengan masyarakat kalangan atas, tidak luput juga para pengamat. Ada apa dibalik itu semua, Apakah Kementerian Dalam Negeri yang menjadi kepanjangan tangan Presiden tergesa-gesa menunjuk Pj?

Dasar hukum dari penunjukan dan pengangkatan Pj ini tidak lain dari PP No 6 Tahun 2005 dan dirubah kembali menjadi PP No 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan juga dua Permendagri yaitu Permendagri No. 24 tahun 2016 dan Permendagri No. 1 tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Beberapa Problem Pengangkatan Penjabat

Pertama, Penunjukan kepala daerah provinsi tidak transparan dan tidak partisipatif. Pensiunan Jenderal (pol) ditunjuk menjadi Gubernur Papua Barat padahal baru satu tahun pensiun dan belum ada pengalaman dalam pemerintahan sipil, Dirjen Minerba ESDM ditunjuk menjadi Pj. Gubernur Bangka Belitung, Staf Ahli Kemenpora menjadi Pj. Gorontalo, dan yg paling aneh nya yaitu Sekda Prov yang pernah dibehentikan Gubernur definitif diangkat menjadi Caretaker Gubernur Banten.

Kedua, Mengabaikan putusan MK No. 15/PUU-XX/2022. Dan  UU ASN (Aparatur Sipil Negara) No. 5 tahun 2014 yang menggariskan jabatan struktural ASN  tanpa “lepas baju” anggota Tni/Polri hanya berlaku di sepuluh kementerian/lembaga tidak termasuk pemerintah daerah, sehingga berimbas kepada ter “khianati” nya reformasi yang menghapuskan Dwifungsi ABRI. Problem ini berimplikasi terhadap kepercayaan kepada ASN dilingkup Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dikarenakan Kemendagri menunjuk Kepala Binda menjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku Utara.

Ketiga, meningkatnya resistensi Gubernur definitif, karena tidak sesuai rekomendasi dari Pemerintah Provinsi,  yang berakibat Tertunda nya pelantikan Bupati usulan Kemendagri (Seram Bagian Barat, Malut), Tertundanya pelantikan Bupati Muna Barat dan Buton Selatan (Sulawesi Tenggara), bahkan Pj. Bupati usulan Kemendagri mundur setelah sehari dilantik menjadi caretaker Bupati Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah) dan kemudian Gubernur menunjuk Sekretaris Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan menjadi Pelaksana Harian (Plh) Bupati.

Pj. Yg dilantik baru sekitar 42 sehingga masih ada 229 Pj lagi, dari 271 daerah di Indonesia (24 gubernur, 191 bupati, dan 56 walikota). Sesuai asa “tidak boleh ada kekosongan jabatan kekuasaan pemerintahan” (no vacum of power) yang dimana diangkatlah pejabat struktural aparatur sipil negara.

Waktu mereka memimpin daerah juga terbilang lama dalam bilangan tahun, bahkan ada yg mencapai tiga tahun. Andai kita mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), masa jabatan satu periode itu adalah dua setengah tahun tambah satu hari, berarti para Pj. Kepala Daerah itu terhitung dalam satu peridoe, yang dimana sebelum diputuskannya Pilkada serentak ini Pj kepala daerah bertugas dalam hitungan bulan.

Kontroversi pengangkatan Pj  tidak akan berhenti sampai dengan beberapa kasus ini saja sebelum regulasinya tidak diperbaiki sedemikian rupa dengan memperhatikan kondisi sosial budaya dan politik di daerah masing-masing. Karena masih banyak lagi Pj kepala daerah yang akan dilantik setelah ini, bahkan menjadi permasalahannya bukan hanya berkutat terhadap penunjukan dan pelantikannya melainkan berkembang ke berbagai bidang sektoral.

Politik hukum pilkada Indonesia memilih pilkada serentak bergelombang menuju pilkada serentak nasional, hanya tahun penyelenggaraannya tidak disamakan dengan tahun pilpres dan pileg seperti termaktub dalam UU No. 8 tahun 2015. Perubahan pilkada serentak nasional 2024 ini dipercepat setelah disahkan nya UU No. 10 tahun 2016.

Target pilkada serentak 2024 ini yaitu agar sinkronisasi pembangunan nasional dan daerah berjalan searah dan seirama. Konsekuensi logis nya menjadikan beban KPU semakin berat dalam sosialisasi kepada ASN untuk netralitas serta masa jabatan Pj kepala daerah lama.

Embrio pilkada serentak ini dulunya dimulai dari Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat agar menekan biaya APBD penyelenggaraan pilkada tidak terkuras banyak. Pilkada Sumbar pada 2005 dan Pilkada Aceh 2006, yang dimana tercatat saat itu masa jabatan Bupati/Walikota nya berdekatan berakhirnya, Sumatera Barat ada 14 dari 18 daerah, dan di Aceh ada 20 dari 23 daerah. Memang hasilnya bisa menekan biaya hampir 60% dari total biaya yang diajukan oleh KPUD.

Dan juga kita jangan melupakan kejadian pada pilpres dan pileg serentak tahun 2019 kemaren, yang dimana menelan korban hampir 1000 jiwa petugas kpps.

Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus sesegera mungkin untuk mitigasi kebijakan dengan mengevaluasi dan bertindak cepat mengatasinya. Salah satu nya menerbitkan PP (peraturan pemerintah) baru sebagai aturan main dalam pengangkatan Pj kepala daerah. Agar bisa mematuhi putusan MK tetapi juga memperbaiki aturan lama yang kurang cocok terhadap situasi kondisi daerah saat ini. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kemudian hari nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *