Memaknai Kembali Jalan Lurus (Shiratal Mustaqiem)

Oleh; Muhammad Radini (Murid dari seorang guru)

Jakarta, Liber Times- Pada titik tertentu semua manusia akan mencari jalan lurus, jalan yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran hingga pada satu titik perebutan makna jalan lurus, adalah perebutan kebenaran itu sendiri. Sebuah jalan yang sangat penting bagi sebagian umat beragama untuk dipertahankan mati-matian. Yang terjadi malah sebaliknya agama adalah jalan konflik sehingga tidak aneh apabila banyak masyarakat modern telah meninggalkan agama sebagai panduan hidup sebagaimana dalam buku Phil Zuckerman masyarakat tanpa Tuhan.  Dalam bukunya Phil Zuckerman menemukan negara-negara yang aman, damai, sejahtera adalah negara-negara yang justru telah melepaskan Tuhan dalam hubungan sosial kemasyarkatan dalam sebuah negara.

Meski pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa Phil Zuckerman kurang tepat menyatakan hasil risetnya adalah sebuah negara tanpa Tuhan karena yang di ambil adalah variable-variabel yang berkaitan dengan doktrin salah satu agama. Dan bagi saya rasanya lebih fair bila garis besar kesimpulannya adalah negara tanpa agama. Phil Zukckerman sepertinya lupa bahwa antara Tuhan dan Agama dua hal yang berbeda. Saya berkeyakinan bahwa pada titik lemah manusia dan ketidaktahuan manusia akan sesuatu hal disitulah akan timbul kesadaran akan Tuhan apapun sebutan Tuhannya.

Jalan lurus dan nikmat Tuhan.

Konflik selalu saja muncul dari perebutan kebenaran yang disimbolkan dengan jalan lurus oleh agama dan perebutan nikmat yang di turunkan Tuhan yang terbatasi oleh nafsu manusia. Padahal dua makna ini adalah satu kesatuan yang tidak pernah terpisahkan.

Surat al fatihah pada ayat 6-7 yang berbunyi “(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus, (7) (yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang di murkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. Namun penafsiran saya sama sekali tidak menggunakan pendektan kaidah – kaidah ahli tafsir semisal Syekh Mana’ul Qithan dalam kitab beliau Mabahits fi Ulumil Qur’an.

Bagi saya makna jalan lurus dalam surat tersebut bukanlah sebuah jalan yang melambangkan sekelompok manusia yang berhasil menjaga sholatnya, puasanya, zakatnya, dan hal-hal lain yang di simbolkan sebagai manusia-manusia taqwa. Sehingga  parameternya orang yang menemukan jalan lurus adalah orang shaleh yang terlepas dari dosa sehingga bagi orang-orang shaleh yang merasa memiliki jalan lurus mempunyai tanggung jawab untuk membawa manusia yang lain menjalani jalan yang mereka yakini jalan lurus.  Sehingga tafsir nikmat di ayat ke 7 adalah sekelompok orang yang di beri nikmat karena taqwa dan keshalehannya berupa harta melimpah, kesehatan, kehormatan, dll. Sedangkan yang di murkai adalah jalan sesat yang mengindahkan perintah Tuhan sehingga disimbolkan adalah sekelompok orang yang susah hidupnya dalam kemelaratan, sakit, dan kehinaan, dll. Nampak berlebihan bukan?         

Namun menurut saya pemaknaan ayat ini sangat indah dan sederhana, pemaknaan ini hadir dari intuisi saya di setiap shalat ketika membaca surat Al Fatihah ayat 6 dan 7. Rasanya saat itu hidup saya amatlah rumit dan nyaris saya tidak bisa menikmatinya, bagaimana tidak dari manapun rasanya saya tidak sukses dalam kaca mata manusia, gagal dalam usaha, gagal dalam cinta, dan kegagalan kegagalan yang nyaris terlahir disetiap ikhtiar saya. Lalu timbul pertanyaan, apakah karena saya jauh dari Tuhan, kalau saya jauh dari Tuhan maka saya berada dalam jalan yang sesat karena itulah nikmat Tuhan menjauh dari saya. Sehingga dzikir yang terucap tidak juga mampu menenangkan kalbu, sehingga saya yakin ada yang salah dalam diri saya, ada yang salah dalam saya memaknai kehidupan yang diberikan Tuhan. Lalu seolah-olah dalam shalat tersebut ada jawaban, “bagi Ku makna jalan lurus itu adalah jalan orang-orang yang Aku beri nikmat, namun bagaimana kamu bisa menikmati nikmatKu ketika engkau sendiri sama sekali tidak menyadari setiap pemberian dariKu. Dan tidak ada satu makhluk di dunia ini yang tidak Aku beri nikmat. Hanya orang-orang tersesatlah yang tidak menyadari pemberian nikmat dariKu”.  

Sungguh betapa terkejutnya saya ketika di beri keterangan tersebut. Sehabis sholat saya merenung sungguh nikmat hidup adalah nikmat nyata yang diberikan Tuhan, yang membuat kita lupa berterimakasih akan pemberian karena kita menganggap biasa setiap pemberian karena besarnya kehendak kita dalam hidup. Seperti halnya dalam pertemanan ketika teman membayar parkir motor milik kita maka kita anggap itu hal yang biasa karena nilainya sangat kecil, tapi bayangkan bila suatu ketika kita lupa membawa uang sedangkan motor kita masih di area parkir maka pada saat itu teman yang mengasih sangat bernilai karena kita butuh sekali. Begitulah pemberian Tuhan yang tidak terhitung pada kita yang di berikan Cuma-Cuma tanpa pernah kita meminta.

Jalan lurus bukanlah jalan yang lahir dari tafsir-tafsir para agamawan, sehingga muncul kategori manusia lurus dan tersesat. Dan nyatanya tafsir kitalah yang membuat tercerabutnya agama sebagai jalan kedamain itu sendiri. Jalan lurus bukanlah jalan yang kita cari dan rasanya tidak berlebihan bila sesungguhnya kita telah berada di jalan yang lurus  sejak kita di lahirkan ke dunia apabila kita bisa merasakan dan mensyukuri seluruh pemberian Tuhan itu tanpa terkecuali.

Jika seandainya manusia menyadari betapa banyak pemberian yang telah Tuhan beri, maka tidak akan lagi ada kesengsaraan, tidak akan ada lagi yang namanya peperangan dan konflik. Namun nyatanya pemberian nikmat itu hanya mampu di baca oleh orang-orang yang mempergunakan akalnya, lebih tepatnya manusia-manusia yang di mampukan oleh Tuhan mempergunakan akalnya. Dan semoga kita selalu di tuntun Tuhan di jalan yang lurus. Amiien.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *