Quo Vadis PBNU: Refleksi Harlah NU

Oleh: Khairi Fuady, Anak Muda NU

Jakarta, Liber Times–Quo Vadis ini istilah lama. Karena kangen, saya coba gunakan lagi. Rasa-rasanya ini relevan dengan situasi PBNU yang masih hangat-hangat kuku pasca ketegangan Muktamar, lalu pengumuman pengurus, dan besok menyongsong Hari Lahir Nahdlatul Ulama dalam tanggalan Masehi, 31 Januari 2022. Menandai angka cantik dan keramat, 99 tahun perjalanan Jam’iyah.

Satu bulan lalu, saya menulis artikel berjudul “Gus Yahya Api Peradaban”. Berisi tentang Tahniyah dan Selamat, kemudian doa dan harapan akan kepengurusan baru yang dalam waktu dekat akan “tinggal landas”, mengutip istilah yang kerap diucapkan oleh Abuya Wakil Presiden sekaligus Mustasyar PBNU, Kiai Haji Ma’ruf Amin.

Salah satu poin yang saya singgung dalam tulisan tersebut adalah tentang mimpi Gus Yahya untuk menjadikan NU benar-benar Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah, organisasi sosial-keagamaan. Sebuah mimpi yang genuine, orisinil, dan NU banget.

Sebab, jika kita merefleksikan kembali pada cermin sejarah, berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) adalah ikhtiar dalam rangka menjaga ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdhiyyah berikut praktik amaliyah keagamaan yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para Ulama, Kiai, Ajengan, Buya, dan para Tuan Guru. Artinya, kehadiran NU sebagai Jam’iyah (organisasi), adalah murni dalam rangka menjaga Jama’ah. Menjaga Islam, menjaga Akidah, dan menjaga Umat.

Syahdan. Dalam ikhtiar menempuh perjalanan sekaligus memikul beban berat di atas, rasa-rasanya PBNU perlu menghela nafas demi menemukan formula/ijtihad terbaik. Perkembangan mutakhir, upaya ke arah tersebut pasti lah sedang diurai serta dirumuskan oleh para Kiai dan para Gus di PBNU, agar perjalanan ke depan kian lapang.

Misalnya, kita perlu mengedepankan akhlaqul karimah dan husnuz zhann pada keputusan Al Habib Lutfi bin Ali bin Yahya untuk mundur dari kepengurusan PBNU. Sebab alasan yang mengemuka adalah beliau ingin fokus mengasuh Jam’iyah Ahlut Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdhiyyah (JATMAN) yang beliau pimpin. Artinya Habib Lutfi berijtihad bahwa tugas menjaga Jama’ah adalah tugas yang berat, sehingga jika dirangkap dengan aneka tugas lain akan “keteteran”.

Hal ini pula lah yang barangkali terjadi pada Romo Kiai Nurul Huda Jazuli, yang melakukan “call-back” pada Gus Kausar dan Gus Salam, dua orang Kiai Muda kebanggaan Jawa Timur. Kiai Nurul Huda meminta agar Gus Kausar kembali mendampingi Kiai Anwar Mansur Rois Syuriah PWNU Jawa Timur, sembari terus berkhidmat dalam mengasuh dan membersamai pondok pesantren yang mereka pimpin. Lagi-lagi, jika ditarik relevansinya, ijtihad ini pun masih terkait hajat dan tanggung jawab (mas’uliyah) untuk menjaga Jama’ah.

Dan tentu saja, tanggung jawab ini adalah tanggung jawab kolektif, Mas’uuliyah ‘Aaammah. Tanggung jawab yang oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama perlu di-highlight dan dicetak tebal, sebagai warisan amanat turun-temurun dari para Muassisiin/pendiri NU. Dalam bahasa yang lebih lugas dan letterlijk; “Jam’iyah jangan sampai berjarak dengan Jama’ah”.

Sebab, tidak akan ada artinya visi misi profan seperti menjaga perdamaian dunia, menghadirkan para Duta Besar, serta Kemandirian Organisasi, jika Jama’ah terpisah dari Jam’iyah, jika PBNU terpisah dari warga NU.

Tentu tak ada gading yang tak retak, dan kesempurnaan hanyalah milik yang Maha Sempurna. Oleh karena itu jika ada lobang disana-sini, kerja-kerja peradaban ini perlu ditambal sulam oleh yang lain. Pernyataan Kiai Said Agil Siradj pasca helat Muktamar, bahwa baik sebagai pengurus PBNU ataupun bukan, beliau akan tetap mendakwahkan Wasathiyah Islam, adalah pernyataan yang menunjulkan sikap yang arif dan waskita. Dan alhamdulillah, hingga kini beliau tetap aktif berceramah dan menghadiri banyak pengajian dalam rangka membersamai Jama’ah.

Alhasil, jika judul tulisan ini Quo Vadis PBNU, yang artinya mau dibawa kemana PBNU, kita berharap bahwa PBNU tetap membersamai kita semua warga Nahdhiyyin. Sebab, tanpa asuhan serta kepemimpinan jam’iyah/organisasi, maka jama’ah akan kehilangan obor/pelita yang menuntun mereka, sehingga mudah menjadi sasaran infiltrasi pihak lain. Sayyidina Ali Karramallaahu Wajhah membahasakan secara lebih eksplisit:

“Al haqq bilaa nizhaam, yaghlibuhu al baathil binizhaam”.

Kebenaran yang tak terorganisir, akan tumbang oleh kebatilan dan tipu muslihat yang terorganisir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *