Jakarta, LiberTimes-Jangan bicara derita dihadapan penulis, karena derita adalah pakaiannya. Di saat yang lain sibuk dengan segala hiruk pikuk, penulis rela berhenti sejenak, menenggelamkan diri dalam kontemplasi panjang.
Penulis sering menangis dalam alunan tinta. Walaupun begitu, ia tak pernah mengizinkan tangisan itu terdengar. Ia lebih memilih sunyi, karena sunyi lebih menghargai cintanya.
Demi secercah imajinasi, penulis suka menepi ke sungai atau sesekali ke pantai sederhana, menengadahkan kepala ke atas langit sambil menahan perih. Nafasnya terengah, tangannya bergetar karena kedinginan, kopinya sudah hampir habis, tapi tak ada jua yang menyapa. Tembakaunya tinggal sedikit dihalau angin senja. Penulis benar-benar melebur dalam nelangsa yang indah.
Di panggung dunia, ia secara sempurna memerankan diri sebagai sosok asketik, menyukai akan misteri yang sukar disingkap oleh para jalang. Wajarlah bila ia lebih memilih mencari kenikmatan dalam mengolah seni, ilmu dan renungan metafisik, ketimbang harus mengejar tujuan-tujuan praktis yang menjengkelkan.
Tapi atas bekal itulah penulis hidup dalam merdeka, mampu mengungkap makna dibalik simbol-simbol semesta. Pengetahuannya melaumpai ruang dan waktu. Hatinya mudah terenyuh secara tiba-tiba, bahkan Ia bisa menangis hanya karena melihat jemuran yang tertampang di halaman tetangga. Hahahahaha. Penulis memang selalu juara soal keromantisan, dan tak pernah ingin jadi runner-up.
Begitulah kisah singkatnya, ada sebuah kenikmatan dalam derita yang ia sering sisipkan di kertas lusuh. Yang selalu terpesona dengan fenomena ketertindasan ataupun kecantikan buatan. Tampak begitu obsesif dan eksperimental memang, sehingga membenci normatifisme yang terus di daur ulang. Karena baginya absurditas adalah peluang.
Untuk itu, jangan pernah kau tanya kepadanya dimana letak kunci motor atau hal sejenisnya, tapi tanyalah tentang kehidupan setelah kematian.
Penulis: Muhamad Reza Al Habsyi