Menjawab Harun Arrasyid, Radini: Membangun Peradaban Tidak Boleh Kehilangan Konteks

Martapura, Liber Times–Sangat menarik apabila kita mendiskusikan NU dan Gus Dur sehingga sangat lazim apabila begitu banyak variasi pandangan bahkan juga perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Namun yang penting di pahami tulisan tersebut bukanlah sebuah kekhawatiran saya akan nasib NU atau PMII karena saya sangat menyakini ketetapan Tuhan atas rezki dan jabatan adalah mutlak namun lebih bagaimana kita menyikapinya secara sadar bahwa ada usaha dan rencana manusia yang harus di jalankan sebagaimana aqidah maturidyah dan asya’ariyah yang sama sama kita pegang sebagai warga NU.

Saya melihat Gus Dur itu sangatlah komplek namun saya akan membagi Gus Dur dalam dua hal, Gus Dur sebelum reformasi dan Gus Dur pasca reformasi karena dua hal ini sangatlah berbeda namun tetaplah sama karena beliau tetap berpihak terhadap minoritas. Namun dua hal ini tetap berbeda, perbedaan nyata adalah gagasan pro terhadap minoritas tersebut nyatanya menjadi lebih konkrit ketika beliau telah mendirikan partai politik kemudian menjadi presiden. Sehingga kita bisa lihat jasa Gus Dur dalam membela minoritas sangatlah terlembaga setidaknya ada empat hal; 1. Menjadikan tahun baru imlek sebagai hari libur, 2. Mengakui agama Kong Hu cu di Indonesia, 3. Menaikkan gaji PNS hingga 125%, 4. Presiden yang pro buruh, dan belum lagi bagaimana gus dur memperbaiki hubungan negara terhadap eks keturunan PKI.

Beranjak dari itulah sehingga wacana menghidupkan Gus Dur harus betul dilihat pada titik yang mana yang kita jadikan referensi gerakan. Sebelum reformasi gagasan Gus Dur hanya di suarakan dari forum-forum akademik dan akar rumput paling jauh gerakan advokasi dan tidak ada gagasan yang terlembagakan dengan baik. Namun kemudian menjadi sangat jelas dan kelihatan pengaruhnya setelah gus dur menjadi presiden dan membawa anak anak muda NU terlibat dalam pemerintahan.

Menjadikan gus dur sebagai model utama gerakan sangatlah baik namun saya pikir terlalu tinggi dan cenderung utopis. Seorang gus dur memiliki tingkat mahabbah (Cinta) yang tinggi sehingga magnet kepemimpinannya sama sekali tidak memerlukan sentuhan uang atau kekuasaan untuk memoles dirinya menjadi presiden atau apapun dalam struktur kepemimpinan sosial baik yang terlembaga ataupun tidak. Dan bagaiamana dengan kita? Untuk menjadi ketua cabang atau ketua wilayah apa bisa hanya bermodalkan figur dan rasa suka (cinta), kalau ada yang bisa maka subhanallah generasi penerus Gus Dur telah muncul. Kita ucapkan alhamdulillah. Namun apabila jawabannya tidak maka kita harus menata ulang lagi persfektif kita dalam menata kelola organisasi.

Lalu, di tulisan saya sebelumnya, mengapa harus Cak Nur yang jadi titik referensi kita? Karena jika melihat sepak terjang beliau selama orde baru dan keterlibatannya dalam membangun bangsa dengan ICMI dan melibatkan anak-anak HMI di setiap jabatan strategis waktu itu penting untuk juga di jadikan model kita kedepan. Ketum PBNU tidak harus kemudian terlibat dalam kontestasi politik namun menyiapkan kadernya di setiap lini agar siap sedia apabila bangsa ini membutuhkannya. NU pernah terlihat sangat bersebrangan dengan pemerintah sehingga diasosiakan lawan oleh orde baru namun apa yang kita dapatkan?. wujud keberhasilan NU dalam membela minoritas itu terjadi setelah NU masuk dalam strukur kekuasaan kemudian sampai pada hari ini Perguan Tinggi berdiri dan Rumah sakit yang zaman orde baru begitu sulit terbangun kini ada dimana-mana.

Sebagai bahan renungan bersama, sejarah ditulis oleh pemenang dan wujud nyata orang yang berpengaruh dalam peradaban sekarang adalah orang yang memiliki kekuatan di bidang politik dan ekonomi. Dan apabila menilik 50 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia selalu saja presiden sebuah negara berada di atas tokoh agama dan itu menandakan bahwa politik dan ekonomi sangat berperan penting dalam tolak ukur perubahan sebuah peradaban.

Rasanya tidak terlalu berlebihan apabila saya lagi-lagi ingin melihat Gus Yahya piawai memainkan peran sentral dalam politik dan ekonomi bangsa ini kedepan, dengan mengambil caknur sebagai referensi sehingga kedepan tidak lagi melihat keterlibatan NU dalam pilpres namun tetap menyiapkan kader-kadernya untuk terlibat dalam kebijakan strategis negeri ini. Kenapa bukan gusdur tentu konsistensi cak nur sebagai pengayom kader sudah teruji dengan tidak masuk dalam gelanggang politik praktis. Inilah yang kami tunggu dan harapan kami pada beliau anak muda NU. Tentunya tidak berlebihan bukan?

*Menjawab Tulisan Sahabat Harun Arrasyid

Penulis: Muhammad Radini (Kader Muda NU)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *