Jakarta, Liber Times–Aneh, ini negeri aneh. Masih saja belum dewasa menghadapi perbedaan, seakan Tuhan menciptakan manusia kerap kali harus sama dengan kelompoknya. Lebih aneh lagi, orang yang memahami perbedaan tapi takut untuk memperjuangkan perbedaan, bahkan yang lebih parah anehnya, dia memperjuangkan perbedaan tapi tidak mau berdekatan dengan orang yang berbeda darinya, yang terakhir ini antara politis dan takut popularitasnya hilang.
Jelas, setiap insan itu memiliki banyak perbedaan baik secara fisik atau psikis, mental, pikiran dan emosi pun berbeda. Bagaimana kita harus menyadarkan mereka yang selalu berpikiran seragam dan berpenampilan seragam. Sungguh sempit sekali dunia ini jika semua manusia seragam, semua orang tahu yang indah itu beragam.
Melihat kaum agamawan hari ini serasa menjijikkan, yang bicara soal radikalisme itu hanya obrolan yang jadi obralan. Yang bicara kebersihan hati masih takut dan bersekat diri, tak mau bergabung dengan majelis atau orang yang kotor hatinya. Susah sekali mencari orang ikhlas, ada yang kiranya ikhlas, eh ternyata masih butuh reputasi dan popularitas.
Desember, saya dan kalian mengingat seorang tokoh besar namanya Gus Dur. Manusia ikhlas teladan bagi semesta, tapi sayangnya banyak pecinta Gus Dur yang gak Gus Dur, banyak yang berbicara Rahman tapi tidak menjadi Abdur Rahman. Gus Dur adalah manifest dari keluhuran nama Abdur Rahman.
Beberapa hari lalu saya mengisi di podcast Deddy Corbuzier menemani Buya Arrazy, tak sedikit orang yang memprofiling saya, hingga pada akhirnya jatuh pada tuduhan Syi’ah, dengan tuduhan yang tidak berdasar. Saya sendiri sulit untuk memposisikan diri saya, entah madzhab apa. Secara ritual saya bermadzhab Syafii sama dengan kebanyakan warga NU, tapi secara nalar, nalar saya sangat pluralis cenderung Syi’ah dan Mutazilah. Kalaupun didefinisikan saya akan mengatakan madzhab saya adalah NU. Secara institusi, NU sudah layak menjadi madzhab yang terlembagakan.
Menyoal Syi’ah, saya pernah mempertanyakan kepada Kang Jalal, tentang posisi Imam 12 yang mendapatkan gelar Maksum. Menurut sebagian Ulama yang maksum (terbebas dari dosa) hanya Nabi, sedangkan Syi’ah berpandangan lain soal maksum. Tapi tak berhenti di situ, menurut Kang Jalal maksum yang disematkan kepada Imam Ahlulbayt adalah ‘Udul, sama seperti Sunni menganggap para Sahabat Nabi itu kulluhum ‘uduul.
‘Udul ya adil, tidak ada sahabat nabi yang tidak adil. Tapi fakta sejarah berbeda, ternyata banyak juga yang tidak adil. Orang Sunni suka marah kalau ada yang mengkritik Sahabat, padahal Sahabat itu kita kritik karena sikap politiknya. Sama saja, orang Sunni boleh juga mengkritik 12 Imam Syi’ah, kami tidak pernah melarang, tapi adakah hal yang perlu dikritik dari 12 Imam tersebut? Tutur Kang Jalal. Saya lebih baik mempertahankan kemaksuman 12 Imam dari pada ke-‘Udul-an ribuan Sahabat. Tegasnya sambil tertawa.
Meski sudah tiada, humor Kang Jalal selalu terngiang-ngiang dalam pikiran, sama seperti humor Gus Dur, gak ada lawan. Hari ini berbalik arah, yang ngaku ahli guyon jadi serius semua. Konon Kang Jalal masuk Syiah juga gara-gara Gus Dur.
Kisah lucu juga tercatat ketika Gus Dur dan Kang Jalal pulang dari Iran:
“Gus, kenapa anak saya harus belajar ke Iran?”
“Gini Kang, sampean kan kecewa menjadi mubaligh Muhammadiyah yang gak direken jamaah yang sudah puluhan tahun sampean bina. Mending sampean belajar Islam Syiah saja.”
“Kenapa gak diajak ke NU saja, Gus?”
“Di NU itu sudah banyak kiai yang alim dan pinter kitab kuning. Sampean nanti paling cuma jadi santri, jadi jamaah mereka. Tapi kalau di Syiah, sampean pasti jadi tokoh.”
Kang Jalal kaget. Gus Dur hanya terkekeh. Akhirnya, mereka pun tertawa bersama.
Mari kita tertawa, menertawakan mereka yang masih berselisih soal madzhab dan manhaj.
Penulis: Rikal Dikri Muthahhari