Jakarta,LiberTimes-Kemarin, Selasa 16 November 2021, Indonesia dikejutkan dengan penangkapan tiga tersangka anggota jaringan terorisme Jamaah Islamiyah (JI). Nama-nama yang muncul di jagad media antara lain FO alias Farid Okbah, AZA alias Ahmad Zain An-Najah, dan AA alias Anung Al Hamad.
Ketiganya disebut-sebut oleh Kabag Penum Mabes Polri, memiliki peran penting dalam jaringan JI. FO merupakan tim sepuh atau Dewan Syuro JI. Ia tergabung sebagai anggota dewan syariah di Lembaga Amil Zakat BM Abdurrohman bin Auf (LAZ-ABA), yang merupakan yayasan afiliasi JI dalam penggalangan dana.
Kemudian AZA yang disebut-sebut merupakan anggota dewan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), sekaligus ketua dewan fatwa di Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Ia berperan memberi fasilitas AS dan pengamanan anggota JI pasca penangkapan para Wijayanto.
Para Wijayanto alias Abang alias Aji Pangestu alias Abu Askari alias Ahmad Arief alias Ahmad Fauzi Utomo merupakan Amir (pimpinan tertinggi) terlama yang memimpin organisasi teroris Jamaah Islamiyah (JI) sejak tahun 2008 hingga 2019. Ia ditangkap Densus 88 Antiteror Polri pada 29 Juni 2019 lalu di Bekasi, Jawa Barat.
Di bawah kepemimpinannya, JI mempunyai kontribusi dan bergabung dengan organisasi teroris yang berada di Timur Tengah. Ia memberangkatkan sekitar 96 mujahid muda ke Suriah pada kisaran tahun 2013 hingga 2018.
Tak hanya itu, Ia menunjuk Karso alias Joko Priyono sebagai pelatih bela diri dan militer di Sasana Bela Diri Ungaran, Jawa Tengah, dengan harapan keahlian dari pelatihan anggota JI ini mampu sejajar dengan atlet hingga pasukan khusus. Targetnya anak-anak muda lulusan Pesantren.
Lalu yang ketiga adalah AA. Ia terlibat sebagai anggota pengawas Perisai Nusantara Esa (PNE) yang merupakan sayap organisasi Jamaah Islamiyah dalam bidang advokasi di tahun 2017.
Ia juga berperan membantu dan melindungi dengan memberikan bantuan sosial (bansos) kepada keluarga JI, termasuk keluarga JI yang ditangkap.
Penangkapan AZA yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI, menjadi pusat perhatian berbagai pihak. MUI berkali-kali menjadi perbincangan hangat di forum-forum ilmiah dan media sosial, karena dianggap kurang merepresentasikan sebagai sebuah lembaga yang menaungi perwakilan ulama Muslim dari berbagai organisasi keislaman di Indonesia (bukan organisasi ulama. MUI adalah LSM, sehingga fatwanya tidak mengikat).
Penangkapan AZA sudah selayaknya menjadi lampu merah bagi MUI untuk segera berbenah melakukan screening internal. Saya tak yakin hanya AZA saja yang terkait dengan jaringan terorisme. Barangkali, tokoh-tokoh MUI yang kerap melontarkan statment negatif terhadap isu radikal-terorisme, perlu dilakukan screening lebih serius, terkait: apakah mereka terlibat dalam jaringan ‘terlarang’ itu?
Meskipun sebelumnya MUI telah membentuk badan penanggulangan terorisme di internal lembaga mereka, namun bukan menjadi hal yang mustahil jika sewaktu-waktu mereka ‘kebobolan’ dengan adanya satu atau lebih anggota yang terkait jaringan terorisme.
Isu radikal-terorisme harus diyakini sebagai sebuah fakta. Kita sudah membuktikan dengan perjalanan bangsa Indonesia pasca reformasi, kita dilanda seabrek teror baik dalam skala besar-besaran, sedang, maupun dalam skala kecil. Diawali dengan bom malam Natal pada tahun 2000, bom Bali, hingga terakhir bom di Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 lalu.
Radikalisme juga menjadi isu yang sepatutnya kita benarkan. Sejak beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan bahwa agama menjadi hal yang sangat bisa dipolitisasi di ruang khotbah keagamaan. Perbedaan agama menjadi sesuatu yang bagi sebagian kelompok, sangat ‘buruk’ dan harus dihindari.
Selain itu, kelompok radikal terus berlomba-lomba melakukan brainwash terhadap anak-anak muda di Indonesia melalui majelis-majelis taklim, liqo, dan kajian-kajian keagamaan yang dilakukan secara tertutup di masjid-masjid, perumahan, perkantoran, hingga di sekolahan.
Radikalisme disebut-sebut menjadi fakta mula-mula hancurnya peradaban suriah di tangan kelompok ISIS. Sehingga tak heran jika banyak pihak termasuk pemerintah Indonesia melalui BNPT dan segenap organisasi keagamaan seperti NU sangat memusuhi radikalisme beragama. Mereka bersinergi dalam upaya pemberantasan paham radikal-terorisme yang diyakini menjadi biang kemerosotan peradaban bangsa dan kejayaan Islam.
Saya kira, berbenah dan screening internal merupakan langkah penting yang harus segera diambil oleh MUI, untuk menjaga citra kepercayaan masyarakat yang pada tahun 2018 lalu mencapai 73 persen.
Paham radikal-terorisme menyebar begitu cepat bak pandemi covid-19. Perguruan Tinggi menjadi salah satu target empuk yang mereka sasar.
Banyaknya kajian keagamaan di lingkungan kampus, menjadi salah satu biang masuknya ideologi radikal-terorisme di lingkup perguruan tinggi.
Tak hanya lewat kajian, ideologi radikal-terorisme juga bisa menyusup melalui organisasi ekstra kampus, atau bisa melalui kegiatan di luar kampus yang berorientasi keagamaan, yang kemudian menyebar dari satu orang ke orang lain dan dianggap masuk akal.
Pada tahun 2014 lalu, ISIS melakukan serangkaian baiat kepada kurang lebih 500 orang di wisma Syahida Inn dan Masjid Fathullah UIN Jakarta. Baiat ini dihadiri salah satunya oleh Munarman, mantan petinggi organisasi terlarang FPI.
Tentunya, kampus almamater UIN Jakarta telah mengkonfirmasi peristiwa kecolongan itu. Menurut mereka, itu bukan ranah UIN Jakarta karena tempat yang digunakan memang disewakan untuk kegiatan publik.
Sebuah rekaman peristiwa baiat mahasiswa juga pernah ramai di jagad medsos. Dalam video itu, terlihat mahasiswa berdiri dengan acungan jari telunjuk, melakukan baiat khilafah di kampus ITB.
Peristiwa-peristiwa demikian makin menggunggah kesadaran berpikir kita, bahwa perlawanan terhadap ideologi radikal dan terorisme semakin nyata, khusunya di area Perguruan Tinggi.
Belum lagi, medsos dan internet kita yang begitu terbuka untuk hal-hal esktrim demikian rupa. Tentu akan menjadi tantangan lebih besar untuk melawan gerakan mereka yang bahkan didukung oleh pihak-pihak tak terduga.
Sehingga, saya rasa setiap perguruan tinggi harus dibentuk dan memiliki satgas khusus yang menangani masalah radikal-terorisme yang ada di kampus itu, dalam upaya melawan paham dan ideologi radikal-terorisme di lingkup akademik.
Terkait pro-kontra pembubaran MUI, saya rasa kita perlu mengkaji secara adil terkait: baik buruknya ketika MUI dipertahankan, maupun ketika MUI dibubarkan.
Kalau saya sih, sepakat dibubarkan. Toh memang, kinerja MUI sebenarnya buat apa? Kalau bikin fatwa, setiap organisasi keagamaan punya semacam majelis tinggi untuk menentukan fatwa. Misalnya di NU, ada majelis “Bahtsul Masail”, di Muhammadiyah ada “Majelis Tarjih” di Persis ada “Dewan Hisbah” dan lain-lain. Lalu, apa sebenarnya peran MUI?