Beberapa hari lalu saya diajak ngopi bareng oleh seorang teman di warkop sekitaran Kemang. Kita berbincang tentang banyak hal, dari kisah masa lalu yang menggelikan sampai pada kasus Pandemi (Covid 19).
Namun lama-kelamaan pembicaraan kita mulai panas, ia menyinggung isu radikalisme yg mewabah di negeri kita. Dengan gaya berapi-api ia mengecam sebuah ormas yg mengusung simbol Khilafah, karena dianggap sebagai biang keladi dari segala peristiwa teror.
Bahkan saking bersemangatnya, teman lama saya ini tidak sengaja menumpahkan segelas kopi yg baru ia pesan. “Sabar” ucap saya, Demi menenangkannya.
Setelah situasi mereda, saya memberanikan diri untuk bertanya. “Bukankah sistem Khilafah yg anda benci itu adalah bagian dari sejarah yg ada, bahkan kamu imani bukan?” tanya saya.
Dengan sigap ia menjawab, “Ia dulu memang ada di masa Sahabat, tapi kan sekarang beda bung” tegasnya. Lalu saya katakan, “Kalau begitu tak perlu gegabah membencinya, justru mereka memiliki dalil historis.
Sebagai orang yg memegang teguh ajaran Islam Ahlusunnah, apakah anda tidak merasa aneh membenci sistem Khilafah, padahal tidak sedikit ulama anda berpendapat bahwa masa itu sebagai masa yg ideal “, tegas saya.
Mendengar kata-kata itu, ia tampak kaget dan terdiam beberapa detik. Lalu saya katakan kepadanya lg, “Bro, jangan terlalu membenci sesuatu yang kita sendiri tak memiliki pengetahuan utuh soal itu. Mereka yg kau singgung itu hanya berusaha meromantisme fakta sejarah yg memang diakui sebagai sesuatu yg ideal bagi sebagian kaum muslimin. Tegas saya.”.
Sambil memegang jenggot, ia mengangguk-nganggukan kepala seraya bergumam, “Iyaah-Iyaah”. Tak lama berselang, saya segera menawarkan diri untuk menggantikan kopinya yg tumpah. “Yaa sudah, mumpung masih sore, saya pesankan lagi yah kopinya”.
Memang cukup dilematis bagi sebagian kaum muslimin yg memiiki beban historis dengan sistem Khilafah sebagai konsekuensi pilihan mazhab yg mereka anut. Dan saat ini mereka mesti melakukan dekonstruksi pemahaman tentang Khilafah sambil menolaknya. Ini pekerjaan rumah yg berat.
Hal ini tertentu berbeda dengan sebagian kaum muslimin, yang sejak dari awal secara kosisten menolak aneksasi atas suksesi kepemimpinan yang Mafhum disebut Khilafah, atau secara minimal tidak menganggapnya sebagai suatu yang ideal. Mungkin suatu saat nanti, pandangan tersebut bisa dijadikan sebuah alternatif baru dalam membendung hantu Khilafah-isme.