Mencari Bahagia Cara Imam Ghozali

Jakarta,Liber Times-Hidup penuh misteri hingga menggugah apa-apa yang belum dikenali perlu disapa dan dijajaki, hanya dengan pertanyaan dan jawaban saja tidak akan pernah puas sebelum menjalani dan merasakan sendiri atas diri pribadi.

Misalnya, dorongan pada kata siapa yang tidak ingin bahagia? Pasti tidak ada. Semua orang ingin merasakan kebahagiaan. Namun mengapa banyak orang yang mencari kebahagiaan, tapi tidak kunjung memperolehnya? Bagi sebagian orang yang sudah bergelimang harta, jabatan, dan kesenangan dunia, tidak juga serta merta merasa bahagia.

Bahkan bagi yang meyakini kebahagiaan akan dicapai dengan menikah dengan orang yang dicintai, bisa juga berakhir dalam kubangan kepedihan, ada yang meyakini jika sudah mendapatkan jabatan terhormat akan bahagia dan puas bagi mereka yang belum pernah merasakan amanah jabatan mulia, namun terkadang jabatan tersebut justru mengakibatkan gagal bahagia sebab disibukkan tanggung jawab yang di emban lupa bahagia.

Tokoh teologi Ahlussunnah wal jama’ah bernama Imam al-Ghazali (1058-1111 H), seorang ulama tasawuf legendaris walaupun ada anggapan dari sebagian manusia yang beraliran rasional dan progresif sebagai penyebab kemunduran Islam, namun belum terbukti tuduhannya.

Beliau menjabarkan pada kita semua dalam kumpulan risalah (kitab tipis) mengenai makna kebahagiaan sejati. Karena bagaimana pun juga, bahagia seperti apa yang hendak diperoleh, sangat menentukan cara kita untuk menggapainya.

Kerangka utama mengenai kebahagiaan sejati bagi seorang hamba, secara khusus dibahas dalam Kimiyâ’ as-Sa’âdah (Proses Kebahagiaan). Imam al-Ghazali menegaskan bahwa kebahagiaan manusia tidak cukup hanya yang bersifat jasmani saja. Jauh lebih mulia dari itu, menurut beliau, kebahagiaan hakiki manusia justru bisa dicari lewat jalan mengenal dirinya sendiri, lalu mengenal Tuhannya (makrifatullah) namun betapa sulitnya manusia mengenali dirinya, bahkan lupa bahagia, lupa diri, lupa berterima kasih, lupa akan keadaanya dan peranannya dalam kehadirannya di suatu posisi dan kondisi banyak dialami manusia baik di kota ataupun di desa.

Resep bahagia dapat dijadikan modal, atau bekal sebagaimana telah diterangkan dalam Kimiyâ’ as-Sa’âdah, yaitu dengan mengenali diri dan kemudian mengenal Allah swt., kita bisa menelusuri resep kebahagiaan dari berbagai sudut pandang dalam risalah lainnya. Yaitu, Ar-Risâlah al-Wa’dziyyah (Untaian Nasihat Keimanan), Ayyuhâ al-Walâd (Wahai Anakku, Amalkan Apa yang Kau Ketahui), Mi‘râj as-Sâlikîn (Tangga-tangga Para Salik), Misykât al-Anwâr (Cahaya di Atas Cahaya), Minhâj al-‘Ârifîn (Jalan Para Pencari Tuhan), Al-Adab fi ad-Dîn (Etika dalam Beragama), dan Risâlah at-Thair (Risalah Burung) juga Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu Agama) Sepertinya perlu dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan pasca pandemi dimana telah merubah segala kehidupan sosial, ekonomi, teknologi dan sistem pendidikan baik di dalam negeri maupun diluar sana.

Belum lagi, tantangan cuaca ekstrem di mana Presiden Indonesia yakni Ir. Joko Widodo mejadi pemimpin dalam G20 di Perancis membuat kesepakatan pemimpin di Asia-Pasifik berupaya menggurangi panasnya cuaca akibat gas emisi yang terus meningkat dirasakan penduduk bumi dalam berupaya lebih sejuk dan tentunya dengan harapan mengurangi dampaknya yang negatif agar hidup lebih tenang dan bahagia.

Semoga mulai dari dalam diri dan dengan mengenal kebenaran dari sejatinya bahagia dalam karya-karyanya Imam Ghozali dapat dijadikan rujukan dan solusi kita, dengan tanpa meniscayakan manajemen tatanan global dari para pemangku kebijakan di masing-masing negara mengatasi rakyatnya atau warganya agar mendapatkan bahagia.

Ustadz Ali Mudasir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *