Jangan Benturkan Agama dengan Budaya

Bhinneka Tunggal Ika

Magelang, Liber Times-Saya lihat, sebagian dari kita masih sering menilai orang hanya dari cara berpakaian. Kelompok religius ekslusif menyatakan bahwa para perempuan yang Islam namun tidak berjilbab adalah liberal. Sedangkan di pihak lain yang merasa nasionalis, sebagian menyatakan bahwa mereka yang ikut-ikutan trend jilbab adalah orang-orang yang tidak percaya diri dengan budaya bangsanya sendiri. Benarkah demikian?

Barangkali kita perlu sedikit mengubah parameter berpikir kita terlebih dahulu.

Pertama-tama, kita perlu tahu bahwa perempuan yang bercadar dan berjilbab panjang belum tentu radikal. Siapa tau dia cuma ikut-ikutan fashion saja, atau ada “sesuatu” yang membuatnya memilih berbusana demikian. Jadi, jangan terlebih dahulu nggebyah uyah -kalau kata orang Jawa- atau menggeneralisir suatu masalah. Tidak semua yang memakai cadar tau seluk beluk hukum dan perdebatan tentang cadar.

Suatu ketika saya pernah ketemu seseorang perempuan yang berpakaian serba (sangat) tertutup. Alasannya bukan serta-merta tentang agama, tetapi karena kenyamanannya mengenakkan busana demikian, juga karena traumanya tatkala tidak berjilbab dan bercadar menjadi korban pelecehan seksual. Pun dengan Ia berpakaian serba tertutup, Ia yakin itu tidak 100% menjadikan dia kebal dari pelecehan. Tetapi menurutnya cara itu cukup efektif buat dia menghindar dari orang-orang jahat. Dan syukur hingga saat ini, dia sudah tidak menjadi incaran lagi.

Sampai sini, kita perlu mengubah parameter berpikir kita tentang hijab dan cadar. Bahwa yang perlu diperangi adalah pemahaman agama yang ekstrim dan radikal, yang kemudian memisahkan seseorang dari masyarakat lain, dan membuat mereka mengasingkan diri dari kultur bangsanya sendiri. Jadi, bukan pada cara Ia berpakaian.

Begitu pula, tidak berhijab bukan berarti tidak tau agama ataupun liberal. Saya kira setiap orang punya alasan kenapa musti berhijab dan kenapa tidak. Kalau memang kita orang-orang yang bijajsana, mustinya kita menghormati penuh hak-hak mereka dalam berbusana. Tidak memaksakan, disitulah kuncinya.

Parameter untuk menilai seseorang nasionalis atau tidak nasionalis, cinta budaya atau tidak cinta budaya, jangan dikait-kaitkan dengan busana. Apa lagi dibenturkan antara budaya dan agama, seolah-olah orang yang memilih jalan religius tidak mencintai budaya. Atau orang-orang yang baru saja memilih untuk berhijab, dicerca karena dianggap ikut-ikutan budaya Arab.

Ya, hijab memang bukan 100% budaya Indonesia. Para Bu Nyai kita dahulu mengenakkan kerudung, sebagian rambutnya masih terlihat. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, mayoritas Bu Nyai mengenakkan jilbab, ada yang tetap mengenakkan kerudung sebagaimana Ibu Sinta Nuriyah Wahid. Apakah itu tidak menaati syariat? Kembali saya katakan, setiap orang punya landasan kepada syari’at yang dipahami serta diyakini olehnya masing-masing. Adalah hak setiap orang pula untuk berbusana senyaman mereka, asal tetap menaati etika sopan santun di lingkungan masyarakat.

Trend jilbabisasi tidak kemudian menjadikan para Bu Nyai tidak nasionalis, atau bahkan “menelantarkan” budaya tanah kelahirannya sendiri. Justru melalui beliau-beliau inilah budaya Indonesia tetap bisa diterima oleh masyarakat religius (Islami), karena beliau-beliau telah memberikan doktrin kepada santri-santrinya untuk selalu menghormati bahkan ikut nguri-uri dan ngurip-urip budaya dan tradisi di lingkungan sekitar. Lantas, apakah salah jika kita melakukan akulturasi budaya? Bagaimana jika berhijab, kemudian memakai pakaian tradisional, seperti yang dilakukan oleh Ibu Negara pada saat perayaan HUT RI lalu?

Jika mungkin Anda paham, para Walisongo berdakwah dengan tidak membenturkan antara agama dengan budaya. Bahkan melalui budaya, para Waliyullah mampu memikat hati masyarakat sehingga secara sukarela berpindah agama. Sekali lagi secara sukarela, tanpa ada pemaksaan. Istilahnya, mau masuk islam ayo, kalau ndak juga silakan. Artinya beliau memberikan opsi, masyarakat punya kebebasan untuk menentukan.

Islam masuk ke Indonesia juga melalui jalur dakwah, bukan Futuhat sebagaimana terjadi di negara-negara lain. Dakwah yang dilakukan Walisongo tak pernah membenturkan antara agama dengan budaya, keduanya disatukan melalui jalur tengah yang sangat elegan dan tanpa ada kesan pemaksaan. Begitu pula seharusnya kita dalam berdakwah di bumi Indonesia dengan keanekaragaman dan keunikannya, tak perlu ada paksaan yang mengharuskan seseorang untuk ikut pendapat atau pemahaman yang kita yakini, serta tak perlu merendahkan individu maupun suatu kelompok dengan yang lain. Karena hal tersebut hanya akan memicu pertikaian antaranak bangsa, sehingga muncul ketidakharmonisan dalam hidup berbhinneka.

Kesadaran dalam beragama dan bernegara akan membentuk pribadi yang bijaksana. Dan kebijaksanaan akan menjauhkan kita dari tindakan tidak bijak seperti membenturkan antara agama dengan budaya.

Penulis: Vinanda Febriani (Pegiat Kerukunan Antar Umat Beragama)

Exit mobile version