Menag Gelar Wayang di Hari Santri, Felix Siauw Lebih Maju daripada Yaqut

Jakarta, Liber Times–Saya tidak kenal dengan Menag Yaqut, saya juga tidak mengenal siapa yang membantu Yaqut dalam kinerjanya sebagai seorang Menteri Agama. Tapi saya ingin memberikan sedikit kritik kepada Kementrian Agama RI.

Menyoal moderasi beragama, radikalisme dan toleransi seharusnya kita sudah selesai dan tidak dijadikan proyek atau program yang seremonial saja, karena setelah saya amati program moderasi agama yang hari ini dilakukan itu kurang efektif dan cenderung menghamurkan anggaran.

Ketika bicara soal moderasi agama, selalu saja yang diungkit adalah romantisme sejarah yang telah usang, mungkin paling dekat mengutip Gus Dur dan lain sebagainya. Untuk generasi saya, saya sih boleh saja setuju karena itu bagian dari Pancasila tanpa nama, kalau kata Gus Dur. Kebudayaan, moralitas orang Nusantara itu adalah Pancasila. Ajarannya bisa disampaikan dengan berbagai media, contoh Wayang.

Menag Yaqut menggelar Wayang di hari Santri, menurut saya sih kuno dan gak relevan. Menurut saya Pagelaran Wayang dalam visual kuno hari ini sudah tidak diminati oleh kalangan muda, Wayang itu cukuplah di era Walisanga hingga orang-orang tua kita dahulu, Wayang itu hanya sebatas media, Sunan Kalijaga menggunakan wayang karena ia tahu cara komunikasi yang baik era itu, dalam istilah Arab “Kun Ibna Zamanika” jadilah engkau sebagai anak zaman, maksudnya piye?

Orang yang mengerti zamannya, ia akan selalu menjadi icon penting di eranya. Contoh Kiai Hasyim mengeluarkat fatwa resolusi Jihad karena beliau mengetahui masanya, Sunan Kalijaga berdakwah dengan Wayang karena itu eranya. Hari ini, semua itu sudah ndak bisa dipakai, resolusi Jihad itu di dalam Wilayatul Harb, bukan di Wilayatul Amin, hari ini Indonesia sudah menjadi Wilayatul Amin dalam Bahasa Gus Dur Darussalam. Begitu juga dengan Wayang yang diseleggarakan kemenag itu sangat kuno dan tidak kontekstual, pastinya tak diminati generasi milenial.

Bagaimana kita bisa sejajar dengan budaya-budaya pop yang hari ini menjadi konsumsi masyarakat dunia, kita kalah jauh dengan Korea Selatan, budaya pop culture mereka telah menjadi icon penting bagi para pecinta BTS, K-Pop, dari mulai music sampai lifestyle, Korean wave menjadi symbol perkembangan kebudayaan yang diminati oleh ratusan juta mungkin miliaran masyarakat dunia.

Terbaru, Squid Game sebuah film yang sangat monumental hari ini di kalangan anak muda semua icon penting dalam film tersebut menjadi incaran orang-orang dari mulai permen Dalgona hingga Subway makanan cepat saji dari Amerika itu menjadi incaran para konsumen. Film Squid Game terbukti mendulang sukses besar. Film ini menjadi trending nomor 1 di 90 negara, memecah rekor sebagai film yang paling banyak ditonton dalam berbagai bahasa, menjadi nomor satu di Netflix dan sederet prestasi lainnya.

Melihat realita ini, apa kabar dengan film Santri yang telah banyak di produksi?

Saya mungkin terlalu jauh membandingkat nusantara culture dengan pop culture, tapi tidak menutup kemungkinan nusantara culture bisa menjadi pop culture loh, korea aja bisa. Bicara pop culture saja kita sudah merasa ketinggalan, apalagi kalua kita baca perkembangan Tesla dan Elon Musk, mungkin kita masih kerdil, karena kita masih bayangan seperti Wayang sebagai bayang dari dalang.

Namun, saya ingin mengatakan “kita kalah”. Kita harus sepakat itu. Felix Siaw dan kawan-kawannya telah berhasil menjawab perkembangan zaman. Mungkin kita sering menuduh kelompok mereka sebagai kelompok ortodok, fundamental, kuno dan anti demokrasi sebagai barometer anti modernitas, tapi perlu anda ketahui bahwa mereka menjawab tantangan zaman. Justru kita, yang moderat, anti diskriminasi, pluralism bahkan liberalism malah kita yang ketinggalan zaman, kita kuno, kita masih bicara Wayang orang lain sudah bikin anime hingga kendaraan luar angkasa.

Saya tidak suka dengan pikiran Felix, tapi saya akui Felix lebih maju daripada Yaqut. Saya ingin memberi satu contoh kasus tentang Film Nussa dan Rara, bagaimanapun project film tersebut melibatkan Felix Siauw sebagai ideolog dalam film tersebut, ia melihat project besar di dalamnya, mampu mempengaruhi banyak anak-anak kecil Indonesia, dahsyat sih, propaganda melalui animasi yang sangat sempurna.

Hari ini mereka akan merilis Nussa Rara Movie untuk film sekelas bioskop, mereka gencar mempromisikan filmnya, minta diendors oleh artis-artis papan atas, seperti Ernest Prakasa hingga Panji Pragiwaksono seorang komika juga penulis buku Nasional is me ikut serda mengendorsnya. Gila ini, dibayar berapa mereka? Menurut info sih sekitar 200 s/d 300 juta, mungkin ada yang lebih. Jangankan itu sih, Sandiaga Uno pun ikut mengucapkan kesuksesan Film Nussa Rara, ah mungkin terlalu jauh jika dibandingkan dengan menag Yaqut.

Kita bisa menghitung dengan data kasar, berapa banyak biaya yang mereka keluarkan untuk membuat Film Animasi, dari mana mereka mendapatkan semua itu, padahal mereka itu swasta. Mbokya,… daripada bikin seminar deradikalisasi, moderasi agama dan lain-lain yang itu kurang tepat menurut saya, lebih baik anggarannya digunakan untuk hal yang lebih penting, membuat film animasi tentang Islam moderat atau kisah santri yang dibalut dengan kebudayaan modern, saya kira itu lebih baik.

Dalam adegan Film Animasi, Nussa Rara sudah melampaui pikiran Wayang, ia berjalan menuju luar angkasa dengan roketnya, itu satu contoh adegan menarik perbincangan antariksa seperti project yang akan dilakukan oleh Elon Musk. Bisa gak kita menciptakan film animasi atau film movie tentang Santri yang ilmuwan, saya kira referensi kita lebih banyak dari mereka, tinggal mengemasnya saja, dan jangan buang-buang anggaran.

Menggelar Wayang bagi saya adalah kemunduran peradaban, terlalu jawa sentris. Yang perlu kita produksi bagaimana ajaran Wayang yang filosofis itu kita kemas dengan bagus melalui media film atau animasi.

Penulis: Rikal Dikri, Ceo Agama Akal TV

Exit mobile version