Potensi dan Harapan LPDU: Sebuah Langkah Maju atau Sekadar Wacana?

Oleh Sofyan Noerswantoro

Pemerhati Ekonomi Kerakyatan

Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Agama Nasaruddin Umar, melemparkan ide ambisius: membentuk Lembaga Pengelolaan Dana Umat (LPDU).

Lembaga ini digadang-gadang sebagai wadah terpadu untuk mengelola dana umat Islam zakat, infak, sedekah, hingga wakaf dengan melibatkan berbagai institusi seperti Baznas, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Tujuannya jelas, memperkuat pengelolaan dana umat untuk mendukung program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun, dibalik visi yang terdengar mulia ini, ada pertanyaan besar yang menggantung: mampukah LPDU mewujudkan potensi dan harapan yang dibebankan padanya, ataukah ini hanya akan menjadi janji kosong yang tenggelam dalam birokrasi?

Potensi Besar untuk Pemberdayaan Ekonomi

Secara konseptual, LPDU membawa harapan baru. Dana umat Islam di Indonesia memiliki skala yang tidak main-main. Potensi zakat nasional diperkirakan mencapai Rp320 triliun per tahun, sementara wakaf produktif menyumbang angka fantastis Rp 178 triliun. Jika dikelola secara profesional, dana ini bisa menjadi mesin penggerak ekonomi masyarakat. Bayangkan saja: dengan Rp 24 triliun, pemerintah dapat mengentaskan kemiskinan mutlak bagi 2 juta orang. Dana zakat yang terkumpul maksimal bisa menutupi lebih dari separuh kebutuhan itu sebuah angka yang menunjukkan betapa besar peluang yang ada di depan mata.

LPDU juga berpotensi menjadi tulang punggung ekosistem ekonomi syariah. Dengan mengintegrasikan pengelolaan zakat, wakaf, dan dana haji, lembaga ini dapat menciptakan sinergi yang selama ini hilang akibat fragmentasi. Misalnya, wakaf produktif bisa dialokasikan untuk membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor halal, yang kemudian memperkuat posisi Indonesia di pasar global. Industri halal dunia sedang tumbuh pesat, dan “Indonesia with all it’s resources” seharusnya tidak hanya jadi penonton.

Namun, potensi ini bukan cek kosong yang bisa langsung dicairkan. Pengelolaan dana umat yang efektif membutuhkan sistem yang cerdas dan terukur. Pengalaman global, seperti di Yordania, menunjukkan bahwa dengan populasi 10 juta jiwa, mereka mampu mengumpulkan 20 miliar dinar zakat per tahun berkat pendekatan yang terorganisir. Bandingkan dengan Indonesia: potensi besar, tetapi realisasi masih tertatih. Ini sinyal bahwa keberhasilan LPDU tidak hanya bergantung pada jumlah dana, melainkan pada transparansi, akuntabilitas, dan teknologi yang mendukung.

Harapan Masyarakat: Efisiensi dan Kepercayaan

Masyarakat menaruh ekspektasi tinggi pada LPDU, tapi harapan itu bercampur dengan keraguan yang wajar. Mereka menginginkan lembaga yang tidak hanya ‘jago’ mengumpulkan dana, tetapi juga bisa menyalurkannya dengan tepat sasaran. Transparansi adalah kata kunci. Kasus penyalahgunaan dana umat bukan hal baru lihat saja laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2023 yang mengungkap kelemahan pengendalian internal di BPKH. Masyarakat tidak ingin sejarah berulang. LPDU harus hadir dengan sistem pengawasan ketat, audit independen, dan laporan publik yang bisa diakses siapa saja.

Lebih jauh, ada harapan agar LPDU tidak menjadi “mainan” birokrasi. Masyarakat ingin dilibatkan dari komunitas lokal, ulama, hingga organisasi masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi ini bukan sekadar formalitas, tetapi kunci agar dana umat benar-benar menyentuh kebutuhan riil, bukan proyek-proyek kosmetik yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Tantangan dan Skeptisisme

Di balik potensi dan harapan, LPDU menghadapi ujian berat. Mengintegrasikan lembaga-lembaga yang sudah punya “dapur” masing-masing seperti Baznas dan BPKH bukan perkara sederhana. Tanpa regulasi yang jelas dan kepemimpinan yang tegas, LPDU bisa jadi monster birokrasi yang malah menghambat, bukan mempermudah. Belum lagi risiko penyalahgunaan: dana umat yang seharusnya untuk rakyat bisa saja “dijual” demi kepentingan politik atau pribadi. Sejarah sudah membuktikan betapa rentannya dana publik terhadap tangan-tangan kotor.

Skeptisisme juga muncul dari lambatnya progres. Diumumkan pada April 2025, hingga Juli 2025 belum ada kejelasan soal payung hukum, anggaran, atau langkah operasional. Jika terus begini, LPDU berisiko jadi wacana yang menguap begitu saja dan itu adalah kemewahan yang tidak bisa kita toleransi di tengah kebutuhan mendesak masyarakat.

Jalan ke Depan: Saatnya Bukti Bukan Janji

Untuk berhasil, LPDU harus belajar dari dunia. Malaysia dengan International Zakat Organization (IZO) menawarkan model pengelolaan zakat berbasis investasi syariah yang berkelanjutan. UNHCR Refugee Zakat Fund membuktikan bahwa transparansi bisa jadi magnet kepercayaan publik. Indonesia punya modal untuk mengadopsi pendekatan serupa: digitalisasi untuk efisiensi, pelaporan terbuka untuk akuntabilitas. Tapi semua itu sia-sia tanpa political will yang kuat. Pemerintah harus bergerak cepat, bukan hanya beretorika.

LPDU adalah ide yang datang di saat tepat, seiring dunia semakin mengakui kekuatan dana umat untuk kesejahteraan sosial. Potensinya nyata, harapan masyarakat pun membumbung. Tapi tanpa eksekusi yang solid sistem yang kokoh, transparansi yang terjamin, dan partisipasi yang luas LPDU hanya akan jadi mimpi di siang bolong. Dana umat terlalu berharga untuk disia-siakan. Saatnya pemerintah membuktikan bahwa ini bukan sekadar wacana, melainkan langkah nyata untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Waktu terus berjalan, dan masyarakat menunggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *