Oleh : (Faisal, Dosen Universitas Pamulang dan Peneliti Dignity Politica)
Dalam setiap pidato kenegaraan, upacara peringatan, atau rapat resmi pemerintah, Pancasila selalu diangkat sebagai “roh kebangsaan” Indonesia. Ia disebut sebagai perekat perbedaan, pemersatu bangsa, bahkan penyelamat negeri dari perpecahan. Dalam imajinasi kolektif, Pancasila sering tampil sebagai jawaban atas segala tantangan zaman—baik itu radikalisme, ketimpangan ekonomi, intoleransi, maupun disintegrasi sosial. Namun, di balik citra suci dan agung itu, terdapat kontradiksi besar: Pancasila sering diandalkan untuk memecahkan masalah, tetapi jarang benar-benar menyelesaikan masalah.
Pancasila memang memuat nilai-nilai luhur yang universal dan progresif. Ketuhanan yang inklusif, kemanusiaan yang adil, persatuan yang dinamis, demokrasi yang partisipatif, serta keadilan sosial yang merata—semuanya seolah menjadi fondasi utopis bagi negeri yang majemuk seperti Indonesia. Tapi problemnya bukan pada nilai, melainkan pada implementasi. Sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi digital hari ini, kita menyaksikan bahwa Pancasila lebih sering dijadikan tameng simbolik daripada panduan etis dan operasional.
Simbolisme Tanpa Substansi
Sebagai simbol, Pancasila telah menjadi semacam mantra politik. Dalam momen genting, para elite kerap mengucapkannya dengan lantang—seolah dengan menyebut Pancasila, segala persoalan bisa disapu bersih. Namun realitas sosial tak semudah dikendalikan dengan simbol. Ketika kemiskinan struktural tak juga teratasi, ketika kebebasan sipil terancam oleh regulasi, dan ketika intoleransi tumbuh subur di ruang digital, kita mulai menyadari bahwa seruan “kembali ke Pancasila” hanyalah ilusi penenang.
Franz Magnis-Suseno (2013) pernah menyindir bahwa Pancasila telah direduksi menjadi slogan kosong. Ia tidak lagi menjadi nilai yang menginspirasi tindakan, tetapi sekadar alat kontrol. Di bawah Orde Baru, Pancasila dijadikan asas tunggal yang membungkam perbedaan pendapat. Di era reformasi, Pancasila menjadi topeng populisme yang tidak menyentuh akar persoalan bangsa: oligarki ekonomi, kerentanan hukum, dan kebudayaan politik yang feodal.
Keadilan yang Selalu Ditunda
Mari kita tinjau sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ideal yang luar biasa ini seharusnya menjadi panglima dalam kebijakan ekonomi. Namun data menunjukkan ketimpangan distribusi kekayaan tetap tinggi. Menurut laporan Credit Suisse dan Oxfam, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 45% kekayaan nasional. Ketika korupsi terus merajalela dan akses pendidikan serta kesehatan yang merata masih jauh panggang dari api, Pancasila menjadi penutup luka sosial, bukan penyembuhnya.
Hal yang sama terjadi pada sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bagaimana mungkin nilai ini dijunjung tinggi jika negara masih lemah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu? Komnas HAM bahkan mencatat beragam kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas yang dibiarkan tanpa penanganan serius. Dalam praktiknya, “kemanusiaan” yang adil kerap dibayangi oleh kompromi politik dan kepentingan elite.
Demokrasi dalam Bayang-Bayang Elitisme
Sila keempat, yang menekankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, tampak jauh dari kenyataan hari ini. Demokrasi Indonesia secara prosedural memang berjalan: ada pemilu, ada parlemen, ada kebebasan pers. Namun secara substantif, demokrasi kita sering dikooptasi oleh oligarki. Proses politik dikuasai oleh segelintir elite partai dan pemilik modal besar. Aspirasi rakyat acapkali hanya menjadi formalitas dalam simulakra demokrasi.
Yudi Latif (2011) menegaskan bahwa Pancasila tidak boleh diposisikan sebagai dogma ideologis, melainkan harus dibaca sebagai proses dialektik yang terus-menerus diperbarui. Artinya, Pancasila bukan produk jadi, melainkan proyek bersama yang harus diperjuangkan dalam ruang publik yang adil dan terbuka.
Pancasila Sebagai Jalan Terbuka, Bukan Jalan Buntu
Pancasila seharusnya tidak menjadi alat penyeragaman atau tameng kekuasaan. Ia harus menjadi ruang tafsir kritis yang terbuka terhadap dinamika sosial dan sejarah. Bung Karno menyebut Pancasila sebagai “bintang penuntun” — bukan sebagai palu yang memukul, tetapi sebagai cahaya yang membimbing. Maka tugas generasi hari ini bukan sekadar menghafal sila-sila, tetapi menagih implementasinya dalam kebijakan publik, tata kelola negara, dan budaya warganegara.
Pendidikan Pancasila yang diajarkan hari ini pun perlu ditransformasikan dari dogma normatif menjadi dialog kritis. Anak muda perlu diajak memahami bahwa Pancasila bukan sekadar bagian dari upacara, tetapi sebagai alat untuk mengkritisi dan memperbaiki ketimpangan sosial di sekitar mereka. Tanpa ini, Pancasila akan terus menjadi “pemecah masalah” dalam pidato, namun “pengabaian masalah” dalam kenyataan.
Penutup: Refleksi untuk Masa Depan
Pancasila adalah warisan intelektual dan historis yang tidak ternilai. Tetapi menghormatinya bukan berarti mengkultuskannya secara membabi buta. Justru dengan berpikir kritis terhadap ketidaksesuaian antara ideal dan realitas, kita sedang menjaga semangat Pancasila tetap hidup. Kita perlu jujur bahwa Pancasila hari ini belum berhasil menyelesaikan banyak masalah. Namun bukan berarti kita harus menyerah—justru inilah tantangan bersama: membuat Pancasila bukan sekadar kata, tetapi laku.
Mari jadikan peringatan Hari Lahir Pancasila bukan hanya seremoni tahunan, melainkan momen refleksi kolektif untuk bertanya: apakah kita benar-benar sudah berpancasila? Selamat Hari Pancasila, 1 Juni 2025. Mari hidupkan kembali nilai-nilainya, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam kebijakan dan tindakan.