Oleh Labib Syarief
(Analis Hubungan Internasional)
Sejak serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari 2022, pertempuran lapangan masih hingga saat ini. Hal yang cukup mengagetkan adalah dalam operasinya, militer Rusia telah mengklaim menemukan laboratorium kerjasama Ukraina dengan AS. Dimana lab tersebut digunakan untuk penelitian virus berbahaya untuk manusia dan diduga bagian dari lab senjata biologi yang merupakan. Hal ini pun masih jadi polemik dunia internasional, bahkan Tiongkok termasuk Negara yang mendesak untuk membuka apa isi laboratorium tersebut. Sehingga kasus ini diminta untuk diangkat PBB.
Dalam hal pengusutan temuan kasus tersebut, apakah PBB bisa mengatasinya? Tentu saya ragu.
Selain itu, Ukraina juga mendatangkan tentara bayaran dari Eropa dan Rusia juga mendatangkan militer Suriah.
Dalam perkembangan hingga tulisan ini diterbitkan, militer Rusia secara perlahan mulai menguasai bagian utara, selatan dan timur Ukraina. Militer Rusia sangat lambat masuk ibukota Kyiv. Karena militer Ukraina diduga kuat menggunakan sipil untuk tameng. Maka militer Rusia sangat hati-hati untuk tidak agresif supaya mencegah jatuhnya korban jiwa sipil.
Akibat konflik ini, gelombang pengungsi dari Ukraina terus terjadi. Di bagian barat Ukraina, warga Ukraina mengungsi ke Polandia, Moldova dan Romania. Sedangkan warga Ukraina bagian timur yang mayoritas keturunan Rusia yaitu di Luhantsk dan Donestk yang merdeka secara sepihak. Serta hanya mendapatkan pengakuan unilateral oleh Rusia, juga mengungsi ke Rusia. Selain itu, banyak negara yang memulangkan warganya dari Ukraina.
Di tengah konflik yang masih berlangsung. Dialog Rusia dengan Ukraina sudah berjalan setidaknya 4 kali, tapi masih menemukan jalan buntu. Kabar baiknya dialog kedua negara ini masih terus diupayakan kembali, yang diharapkan adalah terjadinya gencatan senjata dan adanya titik temu kesepakatan kedua belah pihak sehingga terjadi perdamaian.
Beberapa keinginan Rusia terhadap Ukraina dalam dialog yaitu menginginkan Ukraina agar mendeklarasikan menjadi negara netral untuk tidak gabung NATO dan tidak ada neonazisme. Serta diakuinya Krimea bagian dari Rusia.
Ini yang membuat Presiden Ukraina, Zelenseky tidak mengikuti keinginan Rusia. Bahkan Zelenseky mengklaim tidak ada neonazisme dan menganggap gabung dengan NATO adalah bagian dari kedaulatannya. Inilah yang membuat dialog sebelumnya buntu.
Padahal rakyat Ukraina sudah menjadi korban akibat konflik ini. Zelenseky tampak hanya mementingkan egonya dengan dalih kedaulatan daripada menyelamatkan warganya untuk berdialog perdamaian dengan Rusia supaya terealisasi. Apalagi Zelenseky terus dipengaruhi Washington. AS tidak mau perdamaian Rusia-Ukraina tercapai dengan mudah, sehingga mengganggu lancarnya negosiasi perdamaian Rusia-Ukraina.
Sikap Rusia
Ditengah gempuran sanksi ekonomi, politik dan instrumen lainnya oleh AS dan sekutu, telah membuat Rusia melakukan aksi balasan dengan mengeluarkan negara-negara friendly (berteman) dan unfriendly (tidak berteman). Rusia juga memberikan sanksi balasan ekonomi dan politik juga, di mana Joe Biden dan sejumlah petinggi AS dilarang masuk ke Rusia.
Sudah jelas sanksi unfriendly diberikan oleh Rusia terhadap AS dan sekutunya yang telah memberikan sanksi terlebih dahulu ke Rusia. Hanya Singapura negara Asia Tenggara yang masuk list unfriendly oleh Rusia.
Rusia sudah mengantisipasi sanksi dari AS dan sekutu, dengan memperkuat dagang dan finansial dengan Tiongkok sebagai mitra utamanya, dan tampaknya India juga ikut.
Rusia bisa saja membalas sanksi memberhentikan pasokan energi (gas) ke Eropa supaya lumpuh. Tapi tidak dilakukan, Rusia menggantinya dengan memaksa penggunaan mata uang rubel dalam perdagangan gasnya dengan Eropa. Sehingga harga gas di Eropa sudah naik 10 persen. Demi pemenuhan energi dalam negeri, Eropa terpaksa melakukan kemauan Rusia, dengan demikian mata uang rubel Rusia naik.
Jadi sejatinya konflik ini adalah bukan hanya konflik Ukraina-Rusia tapi perang Rusia melawan hegemoni AS dan sekutunya yang telah kuat menguasai dunia baik politik dan ekonomi. Ukraina, khususnya Presiden Zelenseky hanya sebagai pion untuk melawan Rusia.
Sehingga wajar dalam serangan Rusia ke Ukraina, AS dan sekutunya habis-habisan memberi sanksi terhadap Rusia dari berbagai aspek, utamanya politik dan ekonomi.
Sikap Tiongkok
Meskipun dalam resolusi di Majelis Umum PBB, mayoritas banyak yang mengecam Rusia atas invasi ke Ukraina. Namun pada kenyataanya dunia internasional tidak semuanya sejalan dengan AS dan sekutunya dalam memberi sanksi ke Rusia, utamanya India dan Tiongkok. Kedua negara besar ini penting, karena selain memiliki jumlah penduduk banyak dan juga memiliki nuklir, termasuk kekuatan militernya. Kedua negara ini juga mempengaruhi perimbangan politik dan ekonomi dunia terhadap AS dan sekutu.
India dan Tiongkok saat ini posisinya bermain netral dalam kasus konflik Rusia-Ukraina, terlihat abstain dalam resolusi mengecam Rusia dalam invasi ke Ukraina di Majelis Umum PBB. Uniknya kedua negara ini sekarang relasinya jadi tampak searah dan saling mendekat. Padahal sebelumnya punya isu ketegangan di perbatasan Arunachal Pradesh.
Kedua negara ini dipaksa oleh AS melakukan pemberhentian perdagangan ke Rusia dan fokus memberi sanksi. Tapi mereka tidak mau sejalan dengan AS. Justru malah terus melakukan perdagangan dengan Rusia. Tiongkok yang menjadi penyokong perdagangan kuat Rusia di saat gempuran sanksi AS dan sekutu, juga menjadi penyeimbang utama AS selain Rusia yang sedang berkonflik langsung, sehingga Tiongkok juga menjadi kunci dalam konstelasi konflik ini (Perang AS – Rusia via proxy Ukraina).
AS mengancam juga akan memberikan sanksi ke Tiongkok jika tidak mengikuti ajakan AS dalam mengisolasi Rusia. Parahnya lagi AS menuduh Tiongkok mengirim alutsista ke Rusia dalam membantu Ukraina. Tuduhan AS yang tidak mendasar ingin memojokkan Tiongkok. Namun Tiongkok telah membantahnya.
Tentu permintaan AS untuk ikut sanksi Rusia, tidak dituruti Tiongkok. Tiongkok tidak bisa diatur. Tiongkok tahu jika ikut ke AS hanya akan memperkuat dominasi AS dan sekutu di dunia dan melemahkan Tiongkok di dunia internasional. Sedangkan Rusia sebagai rekanan dagang Tiongkok juga dianggap penting bagi Tiongkok dalam bagian penyeimbang AS.
Selain sikap politik terhadap AS dan ekonomi terhadap Rusia di atas. Sikap Tiongkok adalah menyerukan perdamaian kedua belah pihak Rusia-Ukraina, bahkan Tiongkok mengirim bantuan kemanusiaan ke Ukraina.
Timur Tengah
Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab adalah dua negara di Timteng yang memiliki kaya minyak. Tapi mereka tidak mengangkat telepon dari Joe Biden yang meminta pasokan minyak dari kedua negara ini untuk AS. Hal ini dilakukan oleh AS karena AS tidak lagi dapat pasokan gas dari Rusia akibat konsekuensi sanksi yang diberlakukan AS terhadap Rusia. Apakah tampaknya AS mulai kehilangan pengaruhnya di Timteng? Padahal secara ekonomi, militer dan politik kedua negara ini sebelumnya dekat dengan AS. Entah kenapa dalam konflik Rusia-Ukraina, kedua negara ini bertolak belakang dengan AS dengan tidak mengirimkan pasokan minyak ke AS.
Dampaknya bagi AS, harga gas dan minyak sebagai bahan bakar kendaraan di AS melonjak signifikan. Terakhir yang penulis tahu, satu galon yang sekitar 3 liter seharga Rp. 120.000. Berarti satu liter Rp. 40.000. Padahal biasanya sebelum terjadinya konflik Ukraina-Rusia Rp. 40.000 sudah dapat satu galon. Wajar warga AS menjerit. Pemerintah AS hanya mementingkan ambisi kepentingan politiknya dalam konflik Ukraina-Rusia daripada memperhatikan rakyatnya.
Bahkan Suriah yang mengalami konflik akibat proxy AS. Di mana kala itu AS ingin menggulingkan Bashar Al-Assad dengan mendukung pemberontak yang membuat konflik berkepanjangan. Namun berhasil survive, justru sekarang berhasil mendekat dengan Uni Emirat Arab. Ini mengejutkan, Bashar Al-Assad mulai aktif menjadi pemain lagi di Timteng. Yang jelas Suriah mendukung Rusia, sebagai balas jasa terima kasih telah membantu mengkounter pemberontak Suriah yang diback up AS.
Eropa dan AS
Semua negara Eropa sudah memberikan sanksi politik dan ekonomi terhadap Rusia. Bahkan terhadap kelompok elit Rusia, asetnya mereka di Eropa dibekukan dan diambilalih oleh Eropa. Hal ini tentu mengikuti AS. Sebegitunya AS dan sekutu dalam memojokkan Rusia. Mereka mengambil aset kekayaan elit Rusia secara semena-mena.
Namun Eropa memiliki dilema, hampir mayoritas negara-negara Eropa memiliki ketergantungan energi gas tinggi ke Rusia. Jika mengikuti sanksi perdagangan energi, Eropa, kecuali Inggris, akan lumpuh. Makanya dalam hal sanksi energi ke Rusia, Eropa mengalami perpecahan sikap.
Dalam pernyataan kanselir Jerman, bahwa Jerman menolak sanksi energi terhadap Rusia dan tetap melakukan perdagangan gas dengan Rusia. Karena Jerman tahu, jika ia memaksakan diri untuk menstop perdagangan gas dengan Rusia, apalagi pasca pembatalan nord stream 2. Niscaya Jerman akan kehabisan pasokan energi untuk industri dan masyarakatnya bahkan lumpuh saat musim dingin tiba. Jerman ingin menyelamatkan negaranya.
Sedangkan sejumlah masyarakat Italia mendemo pemerintahnya, untuk tidak mengirimkan militernya ke Polandia dalam rangka bagian dari sikap NATO dalam mengantisipasi Rusia.
Melihat Eropa mulai kebingungan antara mengikuti AS atau mengamankan ekonominya akibat dampak balasan sanksi dari Rusia. Dalam waktu dekat Joe Biden akan bertemu dengan negara Eropa, tampaknya AS ingin mempengaruhi Eropa untuk menyatukan sikap terhadap Rusia. Terlihat Eropa juga dipaksa menjadi pion juga terhadap Rusia.
Secara geopolitik, AS yang berbeda benua aman. Sedangkan Eropa yang satu daratan dengan Rusia tentu yang paling merasakan dampak Ekonominya utamanya ketergantungan gas alam dari Rusia. Apalagi Rusia memaksa menggunakan mata uang rubel dalam transaksinya seperti disebutkan sebelumnya.
Bagaiman Kedepanya?
Konflik ini sangatlah pelik karena menyangkut pertarungan negara besar. Semenjak Perang Dunia Kedua berakhir dan Uni Soviet runtuh. AS dan sekutunya menghegomoni politik dan ekonomi dunia. Yang jelas konflik ini mempengaruhi ekonomi dunia dan jalannya konstelasi politik internasional.
Meskipun sepak terjang AS terhadap dunia terutama Timteng misalnya, seperti Irak, Suriah dan Libya, yang sangat agresif yang seharusnya melanggar hukum internasional dan HAM. Tapi ironisnya tidak dikecam oleh dunia internasional, bahkan PBB. Bahkan AS berdalih hal itu dilakukan demi kemanusiaan dan khusus invasi Irak untuk mencegah senjata pemusnah masal yang pada faktanya tidak ada.
Tentu tindakan agresif AS di beberapa negara Timteng juga telah banyak menimbulkan korban jiwa sipil. Diakui atau tidak, ini bentuk ketidakadilan AS dalam konstelasi politik internasional.
Bagi AS dan sekutunya yang sesuai dengan kepentingannya adalah kawannya dan yang tidak sesuai dengan kepentingannya adalah musuhnya.
Jadi akhir dari konflik ini belum bisa diprediksi kapan berakhirnya. Lalu apakah akan membaik (entah yang menang AS atau Rusia dalam konflik Ukraina) atau justru memburuk ke Perang Dunia Ketiga?
Yang jelas kita berharap semoga dialog Rusia dan Ukraina berjalan lancar, dan terjadi win-win solution dan terjadi perdamaian kedua belah pihak.
Entah bagaimana caranya win-win solution antara AS dan Rusia, mengingat AS ingin mempertahankan hegemoninya dan Rusia sendiri sedang melawan hegemoni AS dalam konflik Ukraina ini.
Jadi berharap pula tidak terjadi hal yang buruk di dunia internasional baik itu krisis ekonomi atau perang dunia ketiga, semoga perdamaian dunia kembali seperti sedia kala.***