Tembok Besar Pantura: Menahan Rob atau Menenggelamkan Nalar?

Sofyan Noerswantoro Peneliti NU Walfare

Sofyan Noerswantoro (Peneliti NU Walfare)

Para “penggede” di Jakarta tampaknya sedang punya hajatan baru. Namanya keren betul: Giant Sea Wall. Tembok Laut Raksasa. Mendengarnya saja sudah terbayang gagah perkasanya, seperti benteng Tiongkok yang membelah lautan.

Konon, tembok sepanjang 700 kilometer ini bakal jadi tameng sakti untuk Pantura Jawa, dari banjir rob sampai amblasnya tanah. Biayanya? Cuma “sedikit”, sekitar Rp1.300 triliun. Kalau angka nolnya bikin pusing, anggap saja itu ongkos membangun mimpi.

Di panggung-panggung megah ibu kota, bahkan hingga ke telinga para investor asing, proyek ini digembar-gemborkan dengan gagah. Sebuah narasi heroik tentang bangsa yang pantang menyerah pada lautan terus didengungkan. Tapi entah kenapa, gema narasi itu terdengar sumbang di telinga para nelayan Kronjo, petambak garam di Pati, atau pemilik warung di pesisir Jepara. Bagi mereka, tembok itu bukan janji keselamatan, tapi pertanda wasalam untuk periuk nasi.

Pemerintah kita ini, kalau sudah soal proyek, pikirannya sering kali seperti tukang ledeng. Pipa bocor? Tambal saja. Lantai becek? Tinggikan saja. Tak perlu repot-repot bertanya kenapa pipanya keropos atau kenapa tanah di bawah rumahnya terus turun. Itulah logika di balik Tembok Raksasa ini.

Para ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sudah garuk-garuk kepala, mengingatkan bahwa membendung laut di satu titik hanya akan memindahkan banjir ke halaman tetangga.

Teluk Jakarta yang sudah sesak bisa jadi comberan raksasa. Tapi apa mau dikata, suara para pakar sering kali kalah nyaring dibanding dengung mesin molen. Katanya, proyek ini adalah solusi masa depan. Tapi rasanya seperti menambal ban kempes dengan plester luka. Akar masalahnya penyedotan air tanah gila-gilaan, tata ruang yang semrawut tak disentuh sama sekali.

Yang penting ada beton berdiri tegak, megah, bisa dipamerkan sebagai prestasi. Menteri AHY sibuk menyusun denah, Menteri Trenggono punya program revitalisasi tambak, eh, tahu-tahu mau dipagari tembok. Ini negara mau diurus atau mau main benteng-bentengan?

Dan seperti biasa, kalau ada hajatan besar sementara dompet sedang tipis, kita tolehkan kepala ke mana lagi kalau bukan ke Tembok Besar di seberang sana. Tiongkok. Tentu saja, mereka datang dengan senyum, karpet merah, dan buku cek tebal.

Pak Prabowo sudah menawarkannya langsung ke Presiden Xi Jinping. Sebuah kado ulang tahun ke-75 hubungan diplomatik, katanya. Kado yang indah, tapi bungkusnya utang dan pitanya bunga pinjaman.

Kita kan sudah agak hafal skenarionya. Dulu kereta cepat, besok mungkin laut kita yang digadaikan. Bukan soal sentimen anti-asing, ini soal akal sehat saja. Kalau biaya proyek bisa membengkak sampai Rp1.620 triliun dan APBN angkat tangan, ujung-ujungnya kita hanya jadi penonton di tanah sendiri, sementara keuntungan lari ke Beijing.

Tapi yang paling getir dari semua ini adalah nasib orang-orang yang katanya mau “diselamatkan” itu. Para nelayan Pantura, yang sudah bertahun-tahun berjibaku dengan ombak, kini harus berhadapan dengan tembok. Akses melaut jadi susah, ikan menjauh, biaya solar membengkak. Di Jepara, pantai pasir putih yang jadi andalan wisata terancam jadi kenangan. Di Pati, petambak garam dan udang cemas tambaknya bakal kekurangan air asin.

Mereka, warga pesisir itu, tidak butuh tembok beton yang angkuh. Tembok itu bukan cuma memisahkan mereka dari laut, tapi dari dapur yang mengepul, dari biaya sekolah anak-anak, dari harapan itu sendiri. Ironis sekali, proyek yang digembar-gemborkan untuk menyelamatkan jutaan jiwa, justru dimulai dengan mengorbankan mata pencaharian jutaan kepala.

Pada akhirnya, Tembok Raksasa ini mungkin berhasil menahan rob untuk sementara. Tapi ia juga sangat mungkin sukses menenggelamkan harapan, akal sehat, dan yang paling utama, nasib rakyat kecil yang namanya selalu dicatut dalam setiap pidato pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *