Oleh Sofyan Noerswantoro
Pemerhati Ekomomi Kerakyatan
Program Koperasi Merah Putih, yang diluncurkan pemerintah pada 12 Juli 2025 bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional, mencuri perhatian publik. Melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, program ini menargetkan pembentukan 80.000 koperasi di desa dan kelurahan untuk menggenjot ekonomi lokal, ketahanan pangan, dan kesejahteraan masyarakat.
Ambisi ini memang menggoda, tetapi di balik janji manisnya, ada bayang-bayang tantangan yang mengancam keberhasilannya. Program ini ibarat pisau bermata dua: menawarkan harapan sekaligus menyimpan risiko yang tidak boleh diremehkan.
Peluang yang Menggiurkan
Secara konsep, Koperasi Merah Putih memiliki potensi besar. Program ini dirancang untuk membuka lapangan kerja, menyediakan kebutuhan dasar seperti sembako murah dan layanan simpan pinjam, serta memangkas rantai distribusi yang kerap merugikan petani.
Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi bahkan mengklaim bahwa lebih dari dua juta lapangan kerja bisa tercipta, dengan setiap koperasi berpotensi meraup keuntungan hingga Rp 1 miliar per tahun. Jika berhasil, program ini bisa menjadi jawaban atas kemiskinan ekstrem dan rendahnya inklusi keuangan di pedesaan. Bukankah ini impian lama yang akhirnya menemukan wujud?
Tantangan yang Mengintai
Namun, jangan terburu nafsu. Peluang itu tidak hadir tanpa rintangan. Pertama, pemahaman masyarakat tentang koperasi masih minim. Tanpa edukasi yang intensif, sulit mengharapkan partisipasi aktif dari warga desa fondasi utama keberhasilan koperasi.
Kedua, manajemen yang buruk, penyakit kronis koperasi di Indonesia, kembali menjadi ancaman. Belum lagi risiko korupsi yang mengintai, terutama dengan dana fantastis Rp 240-400 triliun yang digelontorkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membunyikan alarm soal potensi penyelewengan. Jika pengawasan lelet, program ini bisa jadi bancakan, bukan berkah. Pandangan kritis dari Ahli Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menambah bobot pada kekhawatiran ini. Izzudin Al Farras Adha menilai program ini kekurangan transparansi dan perencanaan matang.
Pendekatan top-down yang diterapkan berisiko mencoreng otonomi desa, sementara Ariyo DP Irhamna memperingatkan bahaya penggunaan Dana Desa sebagai jaminan pembiayaan langkah yang bisa memicu moral hazard dan beban fiskal terselubung. Namun, INDEF tidak sepenuhnya pesimistis. Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, menyebut koperasi ini bisa menjadi lokomotif ekonomi nasional, asalkan dikelola secara profesional dengan aturan yang ketat.
Ke Mana Arahnya? Koperasi Merah Putih berdiri di persimpangan.
Keberhasilannya bergantung pada tiga pilar: transparansi, edukasi, dan pengawasan. Tanpa ketiganya, program ini rawan menjadi beban negara atau sekadar jargon politik tanpa dampak nyata. Pemerintah harus belajar dari kegagalan koperasi masa lalu dan memastikan semangat gotong-royong tidak berhenti di kata-kata.
Rakyat berhak bertanya: akankah ini menjadi terobosan sejati, ataukah hanya ilusi yang memudar seiring waktu? Jawabannya ada di tangan pelaksana program ini dan kita semua berhak mengawasinya.