Opini  

IKN dan Sosiologis Kalimantan

M. Luthfi Ramadhan (Analis Politik dan Tata Kota, Putra Daerah Kalimantan)

Oleh: M. Luthfi Ramadhan (Analis Politik dan Tata Kota, Putra Daerah Kalimantan)

Setelah banyaknya sederet nama-nama potensial yang diumbar Jokowi ke publik untuk menjadi bos megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) seperti: Basuki Tjahaja Purnama, Bambang Brodjonegoro, hingga Abdullah Azwar Anas, akhirnya Jokowi memilih dan melantik kepala IKN.

Badan Otorita IKN Nusantara setelah Presiden Jokowi melantik Bambang Susantono sebagai Kepala Badan Otorita IKN dan Dhony Rahajoe sebagai wakilnya pada Kamis (10/3/2022).


Namun dari penunjukan pejabat Badan Otorita IKN tersebut, lagi-lagi Jokowi tidak mempertimbangkan orang lokal Kalimantan untuk mengawali memimpin IKN. Bahkan sebelumnya dari nama-nama yang diumbar ke publik, tidak ada satu pun yang punya latar belakang putra daerah.

Padahal, keterlibatan putra-putri daerah penting untuk mengetahui karakteristik sosial budaya masyarakat Kalimantan agar pemindahan IKN sesuai dengan tujuan ideal yaitu tidak sekedar membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun komitmen tentang orientasi sosial, budaya, dan lingkungan.

IKN dan Putra-Putri Kalimantan

Komitmen awal untuk mengangkat putra dan putri Kalimantan sebagai pimpinan IKN sangat penting, untuk menjaga kepercayaan bahwa pembangunan IKN tidak menciptakan marginalisasi terhadap masyarakat lokal. Banyak bukti sejarah di negeri ini bahwa pembangunan kerap melahirkan konflik sosial. Hal yang paling penting untuk diperhatikan Badan Otorita IKN sebelum mengerjakan infrastruktur fisik adalah menganalisa pola sosial budaya masyarakat setempat.


Anthony Giddens dalam buku Sociology (1991), mengatakan kebudayaan menjadi hal penting karena kebudayaan adalah konsep kehidupan atau cara hidup masyarakat seperti adat istiadat, pola kerja, ritual keagamaan hingga hubungan sosial masyarakat. Kalimantan yang tentunya mempunyai pola sosial budaya yang berbeda dengan Jakarta sebagai ibu kota terdahulu.

Pola kebudayaan masyarakat Kalimantan yang sifatnya adalah agraris dengan hutan alam yang terbentang. Masyarakat Kalimantan, khususnya di wilayah Penajam tak bisa lepas dari kehidupan hutan. Dengan pemindahan IKN ini, akan banyak pembangunan infrastruktur kota yang akan membuat masyarakat adat akan terpinggirkan ke tempat yang lebih pedalaman.


Proses pemindahan IKN akan menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran pendatang ke wilayah Penajam. Aspek sosial budaya dengan kota yang multietnis akan meminggirkan kehidupan agraris masyarakat Penajam. Mitigasi konflik pendatang dan masyarakat lokal akan efektif dengan kebijakan pembangunan IKN yang lebih memperhatikan lokalitas.

Distribusi Otoritas tidak Merata

Ralf Dahrendorf dalam Class and Class Conflict in Industrial Society (1960), sudah mengingatkan bahwa perbedaan distribusi “otoritas” akan menjadi faktor yang mengakibatkan konflik sosial. Penunjukan Badan Otorita IKN dan distribusi “otoritas” yang tidak merata dari Jokowi dalam pembangunan IKN dengan sejarah yang kelam dari konflik etnis di Kalimantan akan membuat transformasi dan transisi IKN dapat berakulturasi dengan warga dan budaya Kalimantan akan terhambat.

Badan Otorita IKN juga akan mempimpin pemerintahan IKN secara khusus di tingkat lokal tanpa ada pemilu secara demokratis. Pemerintahan di IKN juga tanpa lembaga legislatif, dengan tidak adanya representasi warga IKN di legislatif dan kosongnya ruang aspirasi akan menyebabkan lahirnya kekuasaan absolut.

Setelah berpuluh-puluh tahun sumber daya alam Kalimantan dikeruk untuk menghidupi negeri ini, berpuluh-puluh tahun itu pula putra daerah kurang dihargai dalam mengelola negara ini, bahkan hanya untuk memimpin tanah “banua”nya  sendiri dikebiri. Selanjutnya, kita berharap pembangunan dan kepemimpinan di IKN harus memperhatikan lokalitas seperti  yang terdapat di Papua dan Aceh.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *