Jakarta, Liber Times–Hangat dan makin memanas isu mengenai aturan Jaminan Hari Tua (JHT) yang diterbitkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022. Aturan ini diteken Ida pada 2 Februari dan diundangkan pada 4 Februari. Beleid ini berlaku tiga bulan sejak diundangkan dan mencabut Permenaker Nomor 19 Tahun 2015.
Dalam Pasal 1 beleid baru itu, menerangkan bahwa JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
Sesuai Pasal 4, manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun termasuk juga peserta yang berhenti kerja baik karena mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja, maupun peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Sejak isu ini muncul, banyak pihak yang menentang dan menolak mengenai peraturan menteri (persen) tersebut. Petisi penolakan di change.org telah ditandatangani 480.000 orang. Belakangan demo buruh di depan kantor menaker tak henti setiap harinya. Bahkan yang lebih parah adalah adanya pergeseran tuntuan dari menolak aturan tersebut, menjadi desakan Ida Fauziyah untuk mundur dari jabatan. Sebagaimana seruan ratusan buruh yang tergabung dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah dicopot.
Dalam konteks itu, tulisan ini dibuat bukan untuk menganalisa secara hukum atau kebijakan tetang permen tersebut. Tapi lebih kepada bagaimana polemik ini menjadi bola panas isu yang dikonsumsi publik secara politis, ditengah pertarungan wacana jelang pemilu 2024.
Tentu tanpa mengurangi rasa simpatik kepada pekerja yang amat dirugikan lewat kebijakan ini.
Di sisi yang lain patut diingat bahwa Ida Fauziyah adalah menteri dengan latar belakang partai politik PKB. Di saat yang sama PKB adalah partai tingkat menengah (medioker) di parlemen, dimana partai ini telah mendukung Muhaimin Iskandar atau Cak Imin untuk maju sebagai Capres 20224. Selain itu, di saat yang sama Cak Imin sedang melakukan road show ke setiap daerah untuk meningkatkan elektabilitas dirinya dan PKB.
Pada gambaran seperti itulah, kasus ini menarik disimak betul. Karena bagaimana pun tidak ada satu isu di era modern yang tidak berkaitan dengan politik. Sehingga polemik apapun tentunya baik langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak politik. Dan yang lebih khususnya adalah dampak elektoral.
Seperti halnya kasus Arteria Dahlan (di PDI-P) yang beberapa waktu lalu dianggap melukai dan menghina etnis Sunda.
Arteria Dahlan, PDI-P, dan Etnis Sunda
Sebagaimana hasil survei SMRC bertajuk “Partai, Gubernur, dan Presiden: Pandangan Publik Jawa Barat” beberapa hari yang lalu, dimana dalam salah satu hasil riset tersebut memaparkan bahwa kasus Arteria Dahlan berdampak negatif terhadap elektabilitas PDI-Perjuangan di Tanah Pasundan.
Penelitian itu memaparkan bahwa masyarakat yang tidak menahu mengenai kasus Arteria Dahlan, dalam pertanyaan, akan memilih PDI-P kembali di 20204 dengan persentase 21 persen. Sedangkan mayoritas warga yang tahu akan kasus itu, hanya 14 persen yang mau memilih PDI-P kembali di Pemilu 2024. Selanjutnya masyarakat yang tahu dan menganggap Arteria telah menginggung etnis Sunda, hanya 11 persen akan memilih PDI-P kembali di pemilu 2024.
Dapat dicermati bahwa dari masyakat yang tidak tahu kasus Arteria akan memilih kembali PDI-P 21 persen. Dan yang tahu kasus tersebut akan memilih kembali partai berlambang banteng itu hanya 11 persen. Artinya dapat ditafsikan secara ilmiah terdapat penurunan 10 persen, masyarakat yang mau milih PDI-P kembali di 2024.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kekecewaan, ketersingungan, dan kemarahan publik, khususnya masyarakat di Jawa Barat berdampak ‘negatif dan signifikan’ terdapat elektabilitas PDI Perjuangan di Jawa Barat.
Ida Fauziyah, PKB, dan Pekerja
Memang untuk menyimpulkan bahwa apakah ada pengaruh elektoral dari aturan JHT usia 56 tahun terhadap elektabilitas PKB, memerlukan penelitian dan riset. Agar diperoleh data yang akurat dan real.
Tetapi gejala-gejala pada polemik tersebut dapat ditangkap dengan “mata telanjang”. Karena sejauh ini sejak aturan JHT terbit, pemberitaan di media cetak maupun digital, mengarah pada kecenderungan negatif untuk Ida Fauziah (menteri berlatar belakang PKB ini). Adapun aksi demontrasi yang berlangsung juga telah membidik figur menteri secara personal. Dengan tuntutan mundur.
Ini berbahaya, dan tentu tidak mengenakan bagi PKB. Karena kasus Ida dengan Arteria memiliki cakupan isu yang berbeda. Jika kasus Arteria memiliki dampak negatif di tingkat lokal, yaitu Jawa Barat. Maka kasus Ida Fauziyah memiliki dampak se-Indonesia dengan pekerja sebagai bemper isu atau kebijakannya.
Maka dari itu jika masalah ini tidak diselesaikan dan dikelola secara baik, persuasif, dan humanis, maka tak ayal PKB akan mendapat pula disinsentif dan musibah elektoral dari polemik kasus ini secara tidak langsung.
Hal ini makin diperjelas dengan bahwa segmentasi pemilih PKB adalah masyakarat dari kalangan ekonimi menengah kebawah. Dimana kategori profesi seperti itu adalah pekerja, buruh, nelayan, petani, dll, yang berkaitan langsung dengan aturan dari menaker ini.
Selain itu dari perspektif partai politik, terdapat partai buruh yang belakangan sedang mendapat banyak sorotan, dan makin banyak sorotan lagi sejak sengkarut masalah ini.
Selain itu aksi demontrasi yang belakangan ini, dinahkodai langsung oleh Said Iqbal, yang merepresentasikan presiden partai buruh dan pimpinan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Secara analitis dari perspektif partai politik, komunikasi politik dan wacana, memang ini adalah head to head antara pekerja dan menteri, Ida dan Said, partai Buruh dan PKB. Serta yang paling penting adalah adalah head to head publik dan negara.
Mengapa dikatakan head to head publik dan negara? Karena secara simplistis, sampai tulisan ini dibuat sangat sedikit pihak-pihak yang pro terhadap aturan ini. Sebagian pihak yang pro, yang terlihat di media khususnya televisi adalah politisi PKB. Hal ini tentu tidak cocok menjadi alasan.
Akhir kata memang belum terlambat untuk mencari jalan keluar yang win-win solution dari masalah ini. Jika menteri Ida berhasil menciptakan aturan yang detail, rinci, dan masuk akal bagi pekerja dan lainnya, tentu ini akan mendapatkan dampak yang positif elektoral secara khusus untuk ibu menteri, dan secara tidak langsung untuk PKB.
Tapi jika menteri Ida gagal mengapitalisasi isu ini maka tentu ia akan menggugurkan usaha elektoral semua pihak di PKB. Artinya kerja-kerja politik secara personal atau kepartaian semua pihak jelang pemilu 2024, dapat dengan mudah dan murah digugurkan pada kasus yang membuat publik merasa dirugikan.
Maka dari itu untuk menghindari Ida Fauziyah akan menjadi Arteria Dahlan versi PKB, jadikanlah masalah kebijakan ini, menjadi solusi semua pihak (khususnya pekerja).
Konversilah dampak kebijakan jadi dampak elektoral.
Jangan sampai pimpinan PKB, Cak Imin yang sedang menyemai elektoral di berbagai wilayah. Malah gagal panen elektoral di pemilu 2024.
Cendhy Vicky V (Analis Politik)