News  

Menemukan Konsep Islam Cinta

Jakarta, Liber Times-Masifnya paham yang menyeret agama dalam sebuah pusaran hitam kepentingan melahirkan rasa ketegangan dan tertutup serta menimbulkan ke was–was an terhadap paham yang dinilai merugikan dan berbeda dengan paham yang di anutnya.

Praktek kekerasan dalam berdakwah tentunya sangat menciderai nilai – nilai luhur yang dibangun oleh para ulama zaman dahulu,yang bersifat lemah lembut terhadap masyarakat yang belum beragama Islam, sehingga lambat laun melihat dakwah yang santun dan ramah,tanpa paksaan dan sukarela masuk islam dengan sendirinya.

Pemahaman agama yang tidak komprehensif menimbulkan semangat berdakwah namun cenderung ke arah provokatif dan kebenaran sepihak, dan agama dipahami sebagai pembenaran kelompoknya tanpa mau menerima nasihat atau membuka ruang dialog,sehingga menjadi sebuah pertanyaan, peran apakah yang bisa diambil jikalau agama hanya sebagai alat legitimasi semata ?

Akulturasi ini terlihat saat para Walisongo mengenalkan kalimat – kalimat tayyibah dan pujian terhadap keagungan dan keesaan Allah, dalam sebuah ritual yang sekarang dinamakan Tahlilan, orang zaman dahulu mempunyai kepercayaan bahwa arwah yang meninggal akan selalu bergentayangan dan hadir serta menggangu dalam tidur,sehingga masyarakat jikalau ada keluarga yang meninggal tidak berani tidur malam atau begadang dalam waktu tujuh hari.

Namun jeleknya begadang ini diisi dengan aktifitas berjudi, minuman keras dan kegiatan lain yang bersifat negatif,melihat kenyataan tersebut para wali berdiskusi untuk bagaimana menyadarkan masyarakat yang sudah terlanjur mempunyai kepercayaan itu, usut punya usut,masyarakat pada saat itu sangat mempercayai mantra atau kalimat sakti agar dikabulkan suatu hajat tertentu, hingga suatu malam para wali menyuruh kepada masyarakat yang begadang itu duduk bersama dan mendengungkan sebuah mantra yang sebenarnya sekumpulan kalimat tayyibah dan sebagai tuan rumah ada baiknya menghidangkan sebuah jamuan makan sesuai orang yang hadir, setelah prosesi tersebut selesai, maka tidurlah dengan nyenyak, di jamin tidak terjadi apa –apa. Para masyarakat pun terus melestarikan budaya itu sehingga sampai sekarang pun masih di lesatrikan, terutama di kampung – kampung.

Tidak melarang budaya setempat namun mengisi budaya yang ada dengan sentuhan yang bernafaskan keislaman adalah semangat berdakwah menggunakan cinta yang patut kita lestarikan, sehingga orang masuk islam tidak terkungkung dalam perasaan kalah atau takut, namun memang dari lubuk hati yang paling dalam.

Pada dasarnya ada dua hal yang sulit untuk dirubah yaitu, kepercayaan dan budaya dan mengubah dua itu juga ada dua cara, yaitu pemaksaan atau suka rela, dengan pemaksaaan bisa di suatu saat, akan bergejolak dan kembali lagi, namun jikalau nilai budaya sudah merasuk dan bersifat sukarela maka itu akan mengakar kuat dalam hati yang berlanjut sebagai tuntunan dalam bermuamalat dalam kehidupan sehari – hari.

Sebagai generasi muda yang akademis sudah sepantasnya membuka ruang dialog seluas – luasnya, semangat belajar tanpa kenal henti, dan jangan cepat merasa puas dengan apa yang telah di capai, etika seperti inilah yang nantinya tidak membuat egois dan tidak merasa benar sendiri, segala bentuk kekerasan dimulai adanya klaim kebenaran serta kurangnya dialog, membuat hati semakin radikal, yang berbuntut keras dalam bertindak, jauh dalam toleransi, Mari kita wujudkan Islam yang cinta, dengan lembah lembut dan berdialog tanpa batas,meminjam kalam dari Gus Dur, “Saya tidak mengatakan semua agama itu benar, namun semua agama pasti mengajarkan kebaikan, jikalau agama membuat mu bersikap keras, mungkin ada yang salah dalam cara mu memahami agama”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *