Taliban atau Afghanistan, Sama Buruknya bagi Perempuan

Jakarta, Liber Times–Taliban merupakan kelompok oposisi dengan simbol agama Islam secara radikal dan konservatif. Keberhasilannya dalam penguasaan wilayah Afghanistan tidak hanya mengubah peta geopolitik melainkan nasib hak perempuan. Beragam media memberitakan tentang itikad baik Taliban terhadap hak perempuan bahkan berjanji akan memberikan kebabasan. Pernyataan ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya Taliban ingin lebih baik dari pemerintahan Afghanistan sebelumnya tentang eksistensi perempuan. Akan tetapi, pernyataan tersebut hanya sebatas seremonial untuk menarik dukungan kelompok perempuan. Menariknya adalah bagaimana nasib hak perempuan di masa kekuasaan Taliban dengan pemerintah Afghanistan sebelumnya. Apakah sama saja, lebih baik, atau justru sebaliknya.

Sebenarnya baik pemerintah Afghanistan maupun Taliban tidak memiliki perbedaan signifikan terkait hak perempuan. Keduanya memiliki tafsiran misoginis yang kuat berlandaskan pemahaman Islam secara konservatif. Tafsiran misoginis telah diformalisasi secara hukum sehingga mengalami internalisasi kepada warga secara generasi. Tidak ada penawaran konsep secara substantif baik Taliban maupun Afghanistan. Keduanya memberlakukan larangan bagi perempuan harus berada di rumah, tidak boleh masuk sekolah, batasan bekerja pada bidang tertentu, dan aktivitas lainnya. Pemberlakuan ini telah berlaku pada waktu lama dan sudah diterapkan dari generasi sebelumnya. Pembatasan perempuan menjadi kebudayaan mengakar tanpa toleransi.  

Afghanistan merupakan salah satu negara di Asia dengan komitmen terhadap Resolusi DK PBB 1325 tentang Women Peace Security. Resolusi tersebut mengharuskan negara memberikan perlindungan bagi perempuan pada kondisi konflik. Selain itu, mendorong kelompok perempuan berpartisipasi dalam perdamaian dunia. Sayangnya, cita-cita ini dihiraukan saat pemerintah Afghanistan berkuasa. Negara Afghanistan sangat jauh dalam pengamalan resolusi dengan tetap mengesampingkan eksistensi perempuan. Di sisi lain, Taliban menetapkan pemerintah baru dengan pembentukan kabinet yang seluruhnya berasal dari kalangan pria. Mereka adalah tokoh Taliban dengan track record penuh kekerasan, seperti Mullah Mohammed Akhund, Mullah Omar, dan lainnya. Kementerian perempuan dihapuskan oleh Taliban sehingga kepentingan perempuan di Afghanistan tidak diakomodir secara baik. Bahkan, Taliban ada rencana melarang perempuan memasuki bangunan pemerintahan dan universitas.

Perempuan telah menjadi kelas dua dalam kehidupan di Afghanistan disamping sebagai obyek kekerasan dan paksaan dalam pernikahan. Tugas perempuan bagi Taliban hanyalah melahirkan dan membesarkan anak, kewajiban lainnya hanya diperuntukkan oleh kalangan pria, seperti bekerja, bersekolah, dan lainnya. Realitas ini berdampak pada dismotivasi pada perempuan untuk mendapatkan pendidikan, perkembangan, dan eksistensi di ruang publik. Jangka panjangnya Afghanistan tidak mampu melahirkan kelompok cendikiawan dari kalangan perempuan.

Perempuan Afganistan

Pada konteks hubungan internasional, penerapan hukum Islam secara ketat dan ekstrim menjadi barrier untuk berinteraksi dengan aktor internasional baik negara maupun non negara. Gender dan pendidikan adalah dua aspek penting yang telah menjadi agenda global. Redaksi ini membuat negara-negara di dunia saling berkerja sama dalam penyelesaian masalah ketimpangan gender dan kebebasan berpendidikan. Taliban sebagai penguasa di Afghanistan menjadi ‘sasaran’ bagi sebagian besar negara pada ketidakadilan global. Ditambah, Taliban tidak memiliki daya tawar tinggi dengan negara lain. Sebenarnya, pemerintah Afghanistan sebelum kekuasaan Taliban banyak kecaman secara global tentang pentingnya keseteraan gender di seluruh sektor kehidupan khususnya pendidikan.

Negara dengan mayoritas penduduk Islam sudah mulai memberikan kesempatan pada perempuan, misalkan Arab Saudi. Kebebasannya adalah kesempatan bagi perempuan untuk mengemudi, aktivitas di luar rumah, hak kesehatan, berpendidikan tinggi, dan lainnya. Kebijakan ini diikuti oleh Iran dan Irak dalam kebebasan perempuan, misalkan kebebasan berpakaian, tidak mewajibkan menggunakan cadar, dan berpendidikan tinggi. Perempuan sudah seharusnya disandingkan dengan kelompok pria pada ruang lingkup negara dan global. Fakta ini mengisyaratkan bahwa sudah waktunya Islam terbuka terhadap perempuan dan menyingkrikan rasa ketakutan.

Kemudian, tindakan Taliban mencoreng Islam secara global dengan menampilkan citra buruk khususnya pembatasan perempuan. Padahal Afghanistan sebagai salah satu mayoritas penduduk muslim berpotensi menjadi figur baik bagi Islam di negara Barat. Tidak heran Taliban dan Afghanistan menjadi sasaran bagi organisasi internasional dan PBB dalam kampanyenya. Kita bisa lihat Cina yang membatasi kepemilikian satu anak dan kekerasan perempuan di India membuat kedua negara ini memiliki citra buruk bagi perempuan. Banyak organisasi yang mengecam kepada Cina dan India atas dasar ketidakadilan terhadap perempuan.

Permasalahan sebenarnya adalah bukan siapa yang memimpin apakah Taliban atau Afghanistan melainkan kebudayaan misoginis. Pandangan ini membuat perempuan tidak dihargai secara hak dan dikesampingkan oleh kelompok pria melalui doktrin Islam. Ajaran Islam dijadikan keabsahan dalam menerapkan tafsiran misoginis secara turun-temurun. Taliban selalu berjanji akan melakukan perbaikan dan lebih mengakui eksistensi perempuan. Nyatanya, kekuasaan Taliban tidak memberikan ‘angin segar’ bagi kelompok perempuan melalui doktrin Islam secara ekstrim. Pergantian kekuasaan seolah-olah seperti satu badan sama hanya berganti baju dimana tidak ada perbedaan terhadap hak perempuan. Taliban tidak membukan komunikasi baik dengan kelompok perempuan bahkan aksi demonstrasi dari kalangan perempuan tidak mendapatkan perhatian serius.

Kebudayaan misoginis harus dilakukan pengkajian ulang dan memandang perempuan sebagai entitas penting bagi kemajuan negara. Konteks pembatasan perempuan dihapuskan dengan pemberlakuan HAM dan apresiasi. Islam dijadikan konfirmasi kembali tentang pentingnya eksistensi perempuan pada pembangunan negara. Perempuan secara kodrat adalah melahirkan namun hak bekerja, berpendidikan, dan aktivitas ruang publik bersifat pilihan. Negara berkewajiban memberikan jaminan dan kebebasan bagi perempuan. Realisasi ini akan berhasil bagi generasi di masa akan datang namun dimulai di masa sekarang. Normalisasi pada aspek hukum melalui nilai Islam diperlukan. Permasalahannya bukanlah Islam sebagai agama namun penafsiran salah dari kelompok Taliban dan Afghanistan.

Penulis: Aprilian Cena, Direktur Eksekutif International Politics Forum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *