Di Ujung Asa

Jakarta, Liber Times–Jemu, melihat beranda dalam tarung wacana. Pergulatan klaim kebenaran non argumentatif mewarnai angkasa sosial media yg menyesakkan.

Banyak berkeliaran “kata-kata” irit makna, diksi jorok menjadi santapan setiap petang dan malam. Rasionalitas terpasung dan berdebu, tersimpan rapih dalam perpustakaan yang kini tak dikenal lagi namanya.

Quotes-quetes hampa bertebaran di meja makan, sama sekali tak berarti bagi para pelintas senja. Kopi ini sudah terlampau dingin, tetapi situasi tetap tak berubah. Hanya terdengar dengus birahi yg tertahan.

Hari ini, viralisme mengalahkan kompetensi, kelicikan menghantam kejujuran, kebodohan menjadi tuan.
Cahaya Ilmu tertutupi kabut kepongahan, kesetian adalah simbol kebodohan, dan pengorbanan dianggap mitos babatan

Ahh Tuhan, seandainya Engkau tak membenci sikap keputus-asaan?! Tapi ku yakin Engkau memaklumi keluhan beberapa hambaMu yang terjebak pada situasi absurd.

Lihatlah, AgamaMu telah diakuisisi oleh rombongan takfiri berdasi dan robot-robot bergamis minus makna. Dengan teologi horornya mereka mengemuka dan merasa mewakiliMu, sehingga ajaran ini menjadi bahan cemo’ohan orang-orang tak beragama.

Muhammadku digambarkan sebagai pribadi yang bengis dan haus kekuasaan. Padahal, bumi dan seisinya pun tak mampu menampung keluhuran ahlaknya. Tinta tak pernah habis membahasnya, sudah ribuan sastra berserakan dalam antrian untuk memujinya, tapi masih saja menemui kegagalan. Karena pujian hanya akan mereduksi kebesaranya.

Wahai zat yang tak pernah bosan oleh desakan para peminta, wahai yang ditanganNya ubun-ubunku berada. Tuntunlah jiwa yang sempoyongan ini agar mampu menghadapi berbagai anomali dan kegilaan zaman. Bila bukan karena semangat perubahan, mungkin aku sudah mengasingkan diri dari hiruk pikuk ini. Aku akan menjadi Ibn Arabi atau Al Halaj yang rela disalapahami oleh orang-orang “Tuna Cinta”.

Penulis: M. Reza Al-Habsyi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *