Jakarta, Liber Times-Indonesia adalah negara yang majemuk, baik ditinjau dari ras,agama, maupun suku. Pancasila sebagai dasar negara adalah ideologi pemersatu di tengah perbedaan yang ada. Bangunan negara yang heterogen tersebut telah kokoh dalam suatu bingkai yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Hal ini menegaskan bahwa NKRI bukan negara agama tetapi negara yang beragama.
Namun, mutakhir ini ada kelompok yang ingin mencetuskan istilah baru yang disebut NKRI Bersyariah yang condong kepada golongan agama tertentu. Hal ini jika dilanjutkan akan memunculkan konflik lama antara agama vs negara yang pada akhirnya dapat memecah belah persatuan dan kesatuan yang selama ini telah dirajut bersama. Menanggapi fenomena ini Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir melontarkan sikap ketidaksetujuannya bahwa slogan yang didengungkan menujukkan kedangkalan dalam berpikir karena pada hakikatnya NKRI ini tidak bertentangan dengan syariah dan sudah lama bersyariah.
“NKRI itu kan sudah lama bersyariah. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Adil Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial,” papar Haedar seperti dilansir dalam situs detik.com.
Menurut akademisi yang mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) itu disetiap sila yang terkandung dalam Pancasila sudah sesuai dengan prinsip-prinsip diberlakukannya syariah (maqashid as-syariah) tidak perlu lagi ada penambahan idiom yang sejatinya akan semakin menjauhkan NKRI dari jiwanya karena bagaimanapun jika NKRI ditarik kepada agama tertentu akan membuatnya semakin terdistorsi.
“Nah, maqashid syariah, tujuan syariah, itu kan sudah tercakup di dalamnya (Pancasila). Jadi tidak perlu lagi ada idiom-idiom, simbol-simbol, dan konsep-konsep yang makin menjauhkan NKRI ini dari jiwanya, karena hanya berpikir soal nama, soal atribut, soal cangkang, soal kulit,” ungkap mantan sekretaris Buya Syafi’i Ma’arif tersebut.
Menurut Haedar, untuk menjadi umat muslim yang taat di Indonesia cukup mengamalkan Pancasila yang di dalamnya sudah mencakup prinsip dan syariat ajaran agama islam secara sempurna (kaffah) sehingga keberadaan NKRI ini sudah cukup tanpa ditambahi idiom-idiom yang semakin menjauhkan prinsip persatuan antar umat beragama di Indonesia.
“Praktikkan saja Pancasila, insyaallah baik syariat Islam maupun syariat agama lain itu akan tercakup di dalamnya. Jadi sudah cukup, kita jangan terus dihadapkan pada pertentangan istilah-istilah,” tegasnya.
Sebagai suatu ideologi yang sudah kokoh dan menjadi kalimatun sawa bagi seluruh rakyat Indonesia, Pancasila, menurut Haedar harus diimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi para pejabat sebagai pemangku kebijakan yang dituntut untuk melakukan perbaikan terus menerus (al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah ) menuju kebijakan yang benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
“Jadi ini saatnya Indonesia mengimplementasikan dan mewujudkan Pancasila. Juga tadi, buat para pejabat juga, mari lebih baik kita gerakkan Pancasila untuk kita amalkan, kita praktikkan termasuk dalam kebijakan,” pungkas cendekiawan kelahiran Bandung tersebut.
Ketum PP Muhammadiyah: NKRI Sudah Bersyariah, Jangan Dipertentangkan Lagi!
Indonesia adalah negara yang majemuk, baik ditinjau dari ras,agama, maupun suku. Pancasila sebagai dasar negara adalah ideologi pemersatu di tengah perbedaan yang ada. Bangunan negara yang heterogen tersebut telah kokoh dalam suatu bingkai yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Hal ini menegaskan bahwa NKRI bukan negara agama tetapi negara yang beragama.
Namun, mutakhir ini ada kelompok yang ingin mencetuskan istilah baru yang disebut NKRI Bersyariah yang condong kepada golongan agama tertentu. Hal ini jika dilanjutkan akan memunculkan konflik lama antara agama vs negara yang pada akhirnya dapat memecah belah persatuan dan kesatuan yang selama ini telah dirajut bersama. Menanggapi fenomena ini Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir melontarkan sikap ketidaksetujuannya bahwa slogan yang didengungkan menujukkan kedangkalan dalam berpikir karena pada hakikatnya NKRI ini tidak bertentangan dengan syariah dan sudah lama bersyariah.
“NKRI itu kan sudah lama bersyariah. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Adil Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin Hikmah Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial,” papar Haedar seperti dilansir dalam situs detik.com.
Menurut akademisi yang mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) itu disetiap sila yang terkandung dalam Pancasila sudah sesuai dengan prinsip-prinsip diberlakukannya syariah (maqashid as-syariah) tidak perlu lagi ada penambahan idiom yang sejatinya akan semakin menjauhkan NKRI dari jiwanya karena bagaimanapun jika NKRI ditarik kepada agama tertentu akan membuatnya semakin terdistorsi.
“Nah, maqashid syariah, tujuan syariah, itu kan sudah tercakup di dalamnya (Pancasila). Jadi tidak perlu lagi ada idiom-idiom, simbol-simbol, dan konsep-konsep yang makin menjauhkan NKRI ini dari jiwanya, karena hanya berpikir soal nama, soal atribut, soal cangkang, soal kulit,” ungkap mantan sekretaris Buya Syafi’i Ma’arif tersebut.
Menurut Haedar, untuk menjadi umat muslim yang taat di Indonesia cukup mengamalkan Pancasila yang di dalamnya sudah mencakup prinsip dan syariat ajaran agama islam secara sempurna (kaffah) sehingga keberadaan NKRI ini sudah cukup tanpa ditambahi idiom-idiom yang semakin menjauhkan prinsip persatuan antar umat beragama di Indonesia.
“Praktikkan saja Pancasila, insyaallah baik syariat Islam maupun syariat agama lain itu akan tercakup di dalamnya. Jadi sudah cukup, kita jangan terus dihadapkan pada pertentangan istilah-istilah,” tegasnya.
Sebagai suatu ideologi yang sudah kokoh dan menjadi kalimatun sawa bagi seluruh rakyat Indonesia, Pancasila, menurut Haedar harus diimplemetasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi para pejabat sebagai pemangku kebijakan yang dituntut untuk melakukan perbaikan terus menerus (al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah ) menuju kebijakan yang benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
“Jadi ini saatnya Indonesia mengimplementasikan dan mewujudkan Pancasila. Juga tadi, buat para pejabat juga, mari lebih baik kita gerakkan Pancasila untuk kita amalkan, kita praktikkan termasuk dalam kebijakan,” pungkas cendekiawan kelahiran Bandung tersebut.